Eklesiologi GBI pada era adaptasi baru (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 30 April 2021 04.31 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Eklesiologi GBI pada era adaptasi baru
25 November 2020
Pdt Junifrius Gultom, MSi, PhD

Mempersiapkan gereja GBI untuk memasuki masa adaptasi baru adalah sangat penting, dan itu dimulai dari peletakan dasar eklesiologi sebagai respons teologis GBI. Dari basis eklesiologi ini maka penyelenggaraan tugas dan panggilan gereja pada bidang marturia, diakonia, koinonia, dan didaskalia mendapat justifikasi teologis.

Uraian berikut ini hanya membahas isu-isu yang terkait bagi kepentingan penyesuaian baru bergereja di GBI, khususnya dalam hal liturgi (ibadah korporat, pemberkatan perkawinan, dll), dan sakramen (baptisan dan perjamuan kudus). Dengan demikian, ciri khas eklesiologi pentakostal yang mendukung cara bergereja pada masa adaptasi baru ini yang disoroti.

Eklesiologi GBI yang relevan pada era adaptasi baru

Beberapa hal khusus mengenai eklesiologi GBI yang relevan pada masa adaptasi baru ini sebagai berikut:

#1 GBI adalah gereja yang bercirikan spiritualitas perjumpaan pneumatis (encounter-pneumatic ecclesiology)

Eklesiologi kalangan Pentakostal (termasuk GBI) dapat disebutkan sebagai eklesiologi pneumatis, di mana tempat Roh menjadi sangat sentral sekaligus omnipresent (maha hadir). Roh yang omnipresent ini hadir ke segala dimensi ruang dan waktu. Perjumpaan (encounter) itu dapat dilihat dengan kata-kata yang familiar (baik pada devosi pribadi juga pada ibadah-ibadah korporat), seperti ‘urapan’; ‘lawatan’; ‘hadirat-Nya’ yang dapat dialami di mana saja dan kapan saja. Maka, koinonia pneumatis ini memudahkan pemakluman teologis terhadap beribadah dari mana saja. Roh yang tak terbatas itu dapat dialami di dalam keseharian dan di dalam praksis kebaktian yang informal.

Pada situasi di mana tidak memungkinkan berkumpul secara langsung (on-site) atau bila pun sebagian telah dapat menyelenggarakan ibadah dan pelayanan sakramen on-site (dengan protokol kesehatan), setidaknya sampai vaksin virus COVID-19 ditemukan, maka gambaran-gambaran (metafora) gereja menjadi muncul kembali “di permukaan” yaitu sebagai Tubuh Kristus (Ef. 1:23; 4:12); Bait Roh Kudus (Ef. 2:21; 1 Kor. 3:16-17), Keluarga Allah (Ef. 2:19), dll. Mengapa metafora-metafora gereja ini menjadi penting kembali kita ingat? Karena dengan mengingat ini kembali, diharapkan jemaat-jemaat GBI yang menyelenggarakan kebaktian online, atau kebaktian-kebaktian di rumah-rumah, memiliki kepastian teologis akan keabsahannya dan nilai yang tak kalah dengan kebaktian-kebaktian yang diselenggarakan secara on-site. Dan bukan hanya itu, urapan Roh di dalam kebaktian yang dimaknai perjumpaan tadi akan terbukti dapat terjadi di mana saja.

#2 GBI adalah gereja yang bercirikan eklesiologi ad hoc

Gereja-gereja aliran pentakostal, termasuk GBI, lahir dari sebuah gerakan (movement). Karena berwajah gerakan, sejatinya dulu ia tidak terlalu berminat untuk membentuk model pemerintahannya, sistem organisasi, liturgi, dan lain-lain sebagai yang mapan (established). Hal ini juga ditengarai oleh kenyataan historis bahwa gereja-gereja aliran pentakostal tidak menaruh perhatian kepada teologi dan kredo. Mereka lebih dikenal sebagai “doers,” ketimbang “thinkers.” Walaupun pada beberapa dasawarsa terakhir ini, gereja-gereja pentakostal, termasuk GBI, secara perlahan melakukan konsolidasi organisasi karena tuntutan zaman dan konteks perubahan di masyarakat. Mengapa eklesiologi ad hoc?

  • Pertama, karena pada masa Adaptasi Baru ini, wajah eklesiologi yang ad hoc yang otonom ini sangat relevan memberi ruang untuk melucuti kecenderungan aturan-aturan yang baku bergereja yang pada banyak denominasi bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai tujuan.
  • Kedua, eklesiologi ad hoc ini membuat GBI menjadi gereja yang terus membuka kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Di antara kedua ekstrem kharismatik dan hirarki, agama dan spiritualitas. Posisi ini akan terus menguntungkan GBI secara misional. Eklesiologi yang ad hoc ini akan selalu menyediakan banyak ruang untuk improvisasi di tengah tantangan bentuk ibadah virtual dan digital.

Eklesiologi ad hoc ini juga menyasar isu keanggotaan jemaat gereja yang dahulu secara kaku terikat dengan file panjang di kabinet/rak keanggotaan jemaat, hari ini harus beralih dari sentralitas katedral kepada jumlah followers dan viewers media digital yang sangat liquid-interdenominasional. Fakta ini memaksa gereja harus berdamai dengan dasar keanggotaan jemaat bukan pada hal-hal birokratis namun melepaskannya pada perjumpaan spiritual umat dengan Allah. Secara sederhana gereja harus rela bahwa jemaat beribadah bukan karena ‘sungkan’ kepada gembala dan takut kehilangan manfaat birokrasi pemerintahan gereja namun pada sejauh mana jemaat tersebut mengalami perjumpaan spiritual dengan Tuhannya.

#3 GBI adalah gereja yang bercirikan persekutuan (fellowship)

Bagi orang-orang pentakostal, termasuk GBI, gereja adalah sebuah persekutuan karismatik (dalam arti karisma), persekutuan pribadi-pribadi, Tubuh Kristus. Bagi gereja-gereja GBI, persekutuan dimaknai sebagai bentuk lain dari kebaktian atau perjumpaan dengan Tuhan di dalam konteks yang tidak terlalu besar jumlahnya. Tidak ada keyakinan magis yang berpusat kepada sakramen perjamuan kudus dan kesadaran tindakan ibadah sebagai demonstrasi persekutuan dengan pribadi-pribadi di dalam formula Tritunggal. Walaupun, cara fellowship seperti ini bukan tanpa kelemahan, yaitu tak mengerti akan tindak korporat persekutuan itu harus berbasis kesadaran penuh akan makna bersama-sama dengan saudara-saudara seiman di persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Orang-orang pentakostal, termasuk GBI, memahami gereja sebagai persekutuan yang berfokus kepada aspek personal dari koinonia ketimbang pada aspek struktural, sakramental, atau ekumenikal. Oleh karenanya, orang-orang pentakostal, termasuk GBI, perlu diingatkan akan fakta bahwa koinonia harus dihidupi bagi pengayaan secara mutual dari semua anggota tubuh Kristus (1 Kor. 12:26). Maka, karunia-karunia yang dianugerahkan kepada semua orang percaya, difungsikan untuk edifikasi (pembangunan) tubuh Kristus. Aspek persekutuan (fellowship) ini menjadi relevan pada konteks Adaptasi Baru dari warga gereja bahwa karena virus-19 ini membuat mereka dapat memahami persekutuan itu tidak selalu disebut absah persekutuan di dalam gedung gereja namun hingga kepada unit terkecil dari keluarga inti atau keluarga besar, dapat menikmati persekutuan lewat ibadah di rumah masing-masing.

#4 GBI adalah gereja yang menginisiasi dan mempraktekkan pelayanan oleh kaum awam

Sebagaimana kita tahu gereja-gereja GBI banyak yang bertumbuh dari kelompok kecil, dan yang tetap mempertahankan persekutuan kelompok kecil (komsel). Pada masa pandemi ini, cara bergereja beradaptasi untuk mempertahankan terpeliharanya persekutuan, kepedulian, ketersediaan pelajaran firman, dan lain-lain adalah mengaktifkan lagi gerakan kebaktian kecil apakah itu rumah tangga atau komsel. Ini sejalan dengan himbauan untuk tidak melakukan kegiatan berkumpul dalam jumlah orang yang banyak.

Komsel,

  • Pertama, meniadakan mitos orang kudus dan tempat kudus. Artinya, sentralisasi otoritas melayani hanya dianggap pada para pendeta dan harus di gedung gereja karena dianggap kudus, menjadi tidak sepenuhnya benar. Seperti yang telah dijelaskan di atas, komsel dapat menarik otoritas dan desentralisasi tempat pada konteks keluarga atau kelompok kecil.
  • Kedua, komsel di rumah-rumah menjadi tempat di mana kesempatan melayani menjadi terbuka kepada siapa saja, bukan hanya oleh kepala rumah tangga, tetapi juga anak dapat memimpin ibadah.
  • Ketiga, komsel pada masa pandemic ini makin memperkuat penegasan akan pentingnya saling memperhatikan dan mendorong satu sama lain.

Ketika ada himbauan untuk tidak melakukan kegiatan yang melibatkan sejumlah orang, maka komsel mendapat momentum untuk difungsikan sebagai wadah di mana orang-orang percaya dapat makin erat persekutuannya di mana ada “nasehat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, … sehati, sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (Fil. 2:1-3), dan persekutuan yang erat dan berbagi (Kis. 2: 42-47).

#5 GBI adalah gereja yang bercirikan pelayanan kesembuhan ilahi

Pada masa di mana banyak orang terinfeksi virus COVID-19, seharusnya tidak membuat orang-orang pentakostal, termasuk GBI, untuk menjadi kehilangan akan gairah dan panggilan mereka menyalurkan anugerah Allah kepada orang-orang yang sakit. Justru gereja-gereja GBI bertumbuh karena pelayanan-pelayanan adikodrati yang salah satunya pelayanan kesembuhan ilahi. Gereja sebagai komunitas yang memberi hidup dimaknai juga bukan hanya dalam konteks yang lebih luas, tetapi dalam praktik belas kasihan Allah terhadap orang sakit, dan demikian keyakinan akan mujizat kesembuhan ilahi adalah bagian yang khas dari teologi pentakostal, ‘Jesus as the Healer’ (Yesus sebagai Penyembuh) di dalam formula five-fold gospel (injil lima rangkap: Yesus sebagai Juruselamat; Yesus sebagai Pembaptis; Yesus sebagai Penyembuh; Yesus sebagai Penyuci; dan Yesus sebagai Raja yang akan datang).

Orang-orang pentakostal, termasuk GBI, memandang bahwa pengutusan Yesus kepada para murid untuk terlibat di dalam pelayanan kesembuhan di dalam konteks pemberitaan Kerajaan Allah (Mat. 10:6-7; Mar. 6:12; Luk. 9:2), diyakini sebagai yang berlaku diterima bagi para murid Kristus pada masa kini. Walau pada isu kematian akibat penyakit atau penyakit yang parah yang tak kunjung sembuh, tidak membuat orang-orang pentakostal mempertentangkan antara kedaulatan Allah dan kehendak manusia. Lagi, sebagai komunitas yang menekankan aspek iman yang bertindak, orang-orang pentakostal, termasuk GBI, dapat sekaligus mempercayai cara kerja Allah melalui medis.

Maka dalam masa COVID-19 ini, diharapkan gereja GBI, tetap harus meyakini dan mempraktikkan pelayanan kepada orang sakit karena virus melalui doa dan iman. Alkitab menggambarkan Allah sebagai pelindung, Allah sebagai gunung batu, Allah kota benteng, Allah sebagai penyembuh, Allah sebagai perisai, Allah sebagai gembala, Allah sebagai tempat persembunyian, dan lain-lain, tidak difungsikan di dalam keadaan yang normal, tetapi justru di dalam mana ada bencana, kecemasan, kekuatiran, dan penyakit. Pada liturgi gerejani kita, sedapat-dapatnya, justru narasi-narasi tentang Allah di atas, dan belas kasihan Kristus, kembali dimunculkan.

Kesimpulan

Uraian di atas, hanyalah bagian-bagian yang relevan bagi situasi pandemik ini di mana kita memasuki masa Adaptasi Baru, termasuk di dalam kehidupan bergereja. Dengan demikian basis eklesiologi di atas dipandang cukup, dengan catatan bahwa teologi sakramen dan lliturgi sebagai tambahannya.

Maka pada situasi pandemik ini memperkuat pertanyaan kita, “siapa itu Bait Suci,” bukan di mana “Bait Suci” itu. Dengan demikian jangan terkendala di dalam menjalankan tugas dan panggilan gereja tetapi gereja yang harus melakukan adaptasi-adaptasi kepada situasi sekarang. Dan GBI sebagai bagian keluarga besar aliran pentakostal, mempunyai pemahaman dan praktek bergereja yang sangat kontekstual, dinamis, memberdayakan, dan eksistensial.

Walaupun demikian, Sinode GBI tetap menekankan pentingnya untuk mengharapkan dimulainya kebaktian/ibadah on-site (di gedung gereja) seperti pada masa sebelum pandemik, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan arahan tambahan dari BPH GBI yang dimaksudkan pada konteks kurun waktu khusus ini. Dengan demikian pertanyaan “di mana Bait Suci” tidak berarti dikesampingkan. Pada masa pandemik GBI tetap komit kepada penekanan pentingnya ketertanaman di sebuah gereja lokal baik pemimpin maupun jemaat untuk memastikan ketersediaan semua pelayanan dan pemuridan.