Paradigma kekudusan bagi generasi yang menyelesaikan Amanat Agung (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 18 November 2022 17.24 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "| namalengkap2=" menjadi "| completename2=")
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal04 Oktober 2020
PenulisPdt Hendrik Timadius, MBA, MTh
Video Voice of Pentecost 19 (Helen Wahyu Mey )
Video 2 Voice of Pentecost 69 (Helen Wahyu Mey)
Unduh Unduh OSP

Kekudusan adalah sifat atau karakter Allah yang paling menonjol di dalam Alkitab. Hal ini terekspresikan dalam trisagion: ’Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa’ (Wahyu 4:8). Tidak ada karakter Allah yang mendapatkan penekanan dalam bentuk pengulangan tiga kali, selain ’kudus’.

I. Pembukaan

Kekudusan adalah sifat atau karakter Allah yang paling menonjol di dalam Alkitab. Hal ini terekspresikan dalam trisagion[1]: ’Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa’ (Wahyu 4:8). Tidak ada karakter Allah yang mendapatkan penekanan dalam bentuk pengulangan tiga kali, selain ’kudus’.

Dalam era Dimensi yang Baru, Tuhan menuntun gereja-Nya untuk merangkul banyak paradigma baru, atau ukuran yang lebih besar, tentang karakter-Nya dan karya-Nya. Jika kekudusan adalah sifat Allah yang terutama, tidakkah gereja Tuhan seharusnya mengharapkan pembukaan paradigma-paradigma baru tentang kekudusan?

Dalam era kebangkitan Generasi Yeremia, jutaan anak-anak muda yang tidak kompromi dengan dosa akan bergerak keluar memenangkan jiwa. Ketika mereka bergerak keluar, ke tengah dunia yang jatuh dalam dosa, sedikit banyak terlihat ada resiko mereka ’terkhamiri’ oleh dunia. Akan tetapi, tidakkah selayaknya gereja Tuhan juga melihat ’imbalan’ (reward) di mana mereka ’mengkhamiri’ dunia dengan kekudusan?

II. Pengertian kekudusan

Kekudusan pada hakikatnya adalah karakter dari Allah itu sendiri. Karakter kudus ini menggambarkan keterpisahan dan keberbedaan Allah dengan segala ciptaan-Nya.[2] Demikian pula, Ia berbeda dari segala konsepsi pribadi ilahi lain yang ada di benak manusia sepanjang sejarah peradaban. Karena itu, dapat dipahami ketika Ia berfirman kepada generasi Musa: Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi (Keluaran 20:4). Perintah yang sama diulangi lagi kepada generasi Yosua dalam Ulangan 5:8.

Sifat kudus atau keterpisahan ini memiliki konsekuensi bahwa Ia juga terpisah dari segala sesuatu yang bertentangan dengan keseluruhan karakter Allah itu sendiri. Ketika manusia pertama jatuh ke dalam dosa, mereka harus keluar dari Taman Eden; terpisah dari tempat kediaman Allah yang sebelumnya adalah tempat kediaman manusia pertama. Akan tetapi, kekudusan Tuhan bukan hanya kekudusan yang ’memisahkan’ dan menghakimi segala yang tidak kudus, melainkan juga kekudusan yang menjangkau manusia yang berdosa dan menyediakan bagi mereka sarana pengudusan. Hal ini dikenal sebagai Paradoks Kekudusan.[3]

III. Kekudusan itu didambakan

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26); dengan demikian karakter Allah, termasuk kekudusan, harus melekat dalam manusia ciptaan-Nya.[4] Inilah yang membuat hanya manusia-lah yang menerima mandat kultural dari Tuhan; bukan ciptaan yang lain. Betapa luar biasa indah dan mulia apabila manusia, yang berpotensi membawa karakter Allah, memenuhi bumi. Kekudusan Tuhan akan termanifestasikan sampai seluruh bumi. Karena itulah, hanya setelah Tuhan menciptakan manusia di hari keenam, Ia dapat melihat bahwa seluruh ciptaan-Nya, bukan hanya manusia, semua ’sangat baik’ (meod tov). Kata ’baik’ di sini memiliki pengertian luas yang mencakup segala pengertian sifat-sifat positif, termasuk kebaikan yang abstrak seperti keindahan (beauty), kedambaan (desirability), dan sifat menyenangkan (pleasantness).[5]

Berbagai ayat alkitab yang mengkonfirmasikan adanya relasi antara kekudusan dan keindahan, antara lain:

Mazmur 96:6, “Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan kehormatan ada di tempat kudus-Nya.”
Dalam King James Version (KJV): ’Honour and majesty are before him: strength and beauty are in his sanctuary.’ (’kekuatan dan keindahan ada di tempat kudus-Nya’)
Mazmur 96:9, “Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan, ...”.
Dalam KJV: ’O worship the LORD in the beauty of holiness’ (’dalam indahnya kekudusan’).
Yesaya 64:11, “Bait kami yang kudus dan agung, tempat nenek moyang kami memuji-muji Engkau, …”
Dalam KJV: ’Our holy and our beautiful house, where our fathers praised thee, …’ (’bait kami yang kudus dan indah’).
Keluaran 28:2, “Haruslah engkau membuat pakaian kudus bagi Harun, abangmu, sebagai perhiasan kemuliaan.”
Dalam KJV: ’And thou shalt make holy garments for Aaron thy brother for glory and for beauty.’ (’untuk kemuliaan dan untuk keindahan’).

Manusia baru di dalam Kristus akan melihat bahwa segala yang berasal dari Tuhan adalah hal-hal yang kudus: hal yang baik, indah, menyenangkan, dan didambakan. Jadi kekudusan tidak lagi hanya ketiadaan hal yang buruk. Suara yang berkata bahwa hal yang tidak kudus itu membawa kenikmatan, meskipun mematikan, adalah berasal dari natur manusia lama. Sebagai orang-orang yang sangat bergantung kepada Roh Kudus, insan Pentakosta di dalam proses pengudusan harus dapat melihat cengkeraman kedagingan yang semakin melemah secara progresif di dalam hidupnya.

IV. Kekudusan itu menular[6]

Pola-pola pergerakan ekspansif dari kekudusan terlihat dalam berbagai narasi Alkitab. Dalam narasi mandat kultural (Kejadian 1:26-28), Tuhan memerintahkan manusia untuk bertambah banyak dan memenuhi bumi. Ini mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bukan hanya manusia pertama yang menerima impartasi kekudusan dari Allah, melainkan sebanyak manusia yang ada dalam skenario hipotetis sebelum kejatuhan dalam dosa. Kedua, bukan hanya taman Eden yang dikhamiri oleh kekudusan Allah, melainkan ’seluruh bumi’. Jelas terlihat dalam narasi ini bahwa kekudusan Tuhan itu menular dan ekspansif.

Pola yang sama juga dapat ditemukan dalam penglihatan Yehezkiel tentang sungai yang mengalir keluar dari Bait Allah (Yehezkiel 47:1-12; bdk Wahyu 22:1-5). Penglihatan ini memperlihatkan beberapa indikator terjadinya ekspansi. Pertama, kedalaman air bertambah setiap seribu hasta. Kedua, intensitas air yang membesar, dari hanya tetesan (ay. 2) menjadi sebuah sungai (ay. 5). Ketiga, sungai yang mengalir keluar dari kompleks Bait Allah sampai menjangkau daerah Timur dan menuju ke Laut Mati (ay. 8). Keempat, sungai yang mengalir ke Laut Mati membuat air laut yang asin pekat menjadi tawar (fresh, NIV), sehingga bersemi banyak bentuk kehidupan di tempat yang sebelumnya tidak ada kehidupan (ay. 10,12). Yohanes, penulis Kitab Wahyu, meminjam penglihatan ini untuk menggambarkan Eden yang sempurna, langit dan bumi yang baru, dalam Wahyu 22:1-5. Sungai yang mengalir ke luar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba menghadirkan perubahan terhadap bumi yang baru, yang membuatnya berbeda dari bumi yang lama. Dalam ayat 3 disebutkan ’Maka tidak akan ada lagi laknat.’ Kata ’maka’ tidak terdapat dalam teks bahasa Yunani; namun Alkitab TB menambahkannya untuk menjelaskan keberadaan dampak. Tidak ada lagi laknat berarti tidak ada lagi kutuk sehingga para penghuni bumi yang baru akan melihat wajah-Nya (ay. 4). Ini semua berarti bahwa kekudusan telah terimpartasi atas seluruh penghuni sorga karena tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Allah (Ibrani 12:14).

Kekudusan itu menular dan ekspansif! Hal ini mungkin adalah sebuah paradigma baru di tengah-tengah pemahaman bahwa dosa itu menular dan ekspansif. Memakai pola qal wahomer, dapatlah dikatakan: ’Kalau dosa itu menular, terlebih lagi seharusnya kekudusan’.

Apabila paradigma tentang kekudusan di atas adalah sesuatu yang ilahi dan alkitabiah, tentunya hal tersebut juga dinyatakan dalam kehidupan dan pelayanan Yesus. Dalam pelayanan-Nya, Yesus sering digambarkan berada bersama dengan orang yang najis menurut Taurat. Dalam Lukas 5:12-14 (bdk. Matius 8:1-4; Markus 1:40-45), dikisahkan bagaimana Yesus berjumpa dengan seorang yang penuh kusta. Orang tersebut meminta kepada Yesus ’Tuan dapat mentahirkan aku’ (ay. 12), yang kemudian diresponi oleh Yesus dengan menjamahnya dan berkata ’jadilah engkau tahir (ay. 13). Setelah penyakit kusta disembuhkan, Yesus meminta kepada orang tersebut ’persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa’ (ay. 14). Perhatikan kemunculan tiga kata yang terkait dengan ’tahir’ dalam kisah ini. Ketika Yesus menjamah orang yang sakit kusta, yang najis menurut Taurat, Ia tidaklah menjadi najis. Kenajisan kusta itu seolah tidak transfer kepada Yesus. Sebaliknya, kekudusan Yesus transfer kepada orang yang sakit kusta itu dan mentahirkannya. Dalam Imamat 13, orang yang sakit kusta adalah orang yang najis (lihat ayat 3, 8, 15, 22, 25, 27, 44). Tuhan memerintahkan orang yang seperti ini dikeluarkan dari tempat perkemahan, supaya tempat perkemahan di mana orang itu berada tidak menjadi najis (Bilangan 5:3). Dalam Perjanjian Lama, orang yang najis bisa menajiskan orang yang tahir saat bersentuhan. Hal ini tidaklah terjadi dengan Yesus. Dan ini selayaknya memberikan paradigma baru dalam memandang kekudusan. Kekudusan itu menular dan ekspansif.

Sifat menular dan ekspansif ini juga terkandung dalam hakikat Roh itu sendiri. Kedua kata untuk ’Roh’, baik ruakh (Ibr) maupun pneuma (Yun) memiliki makna sebagai ’angin/nafas’, yang dapat berhembus dan menyebar untuk suatu tujuan (Yohanes 3:8). Dengan demikian, segenap insan Pentakosta diingatkan untuk menyebar bersama Roh Kudus dan membawa dampak ilahi atas setiap tempat yang disinggahi.

Gembala Sidang GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Pdt Dr Ir Niko Njotorahardjo, dalam pertemuan Menara Doa Pelayan Jemaat beberapa tahun yang lalu, pernah menyaksikan sebuah kisah yang berkaitan dengan paradigma ini.[7] Suatu ketika, gedung SICC dipakai untuk sebuah acara non-Kristen. Beberapa hari sebelum acara tersebut dimulai, ada seorang yang diizinkan masuk oleh panitia acara dan berkeliling di dalam gedung SICC sambil melakukan ritual tertentu. Seorang pendoa melaporkan hal ini kepada Bapak Gembala Sidang sambil diiringi kekuatiran akan ’tercemarnya’ gedung SICC. Bapak Gembala Sidang meresponinya dengan berkata bahwa di gedung SICC ada hadirat Tuhan yang kuat. Tidak mungkin kekuatan ritual mengalahkan kekuatan hadirat Tuhan. Yang lebih mungkin terjadi adalah bukan tercemarnya SICC, melainkan orang tersebut akan dilawat oleh kehadiran Tuhan. Kesaksian ini sejalan dengan paradigma alkitabiah tentang kekudusan yang menular.

V. Kekudusan itu menjangkau, bukan hanya bersifat pribadi

Apabila kekudusan itu bersifat menular dan ekspansif, then what? Implikasi dari kebenaran ini adalah bahwa orang yang dikuduskan oleh Roh Kudus haruslah menjangkau orang lain dan menularkan kekudusan tersebut. Kekudusan tidak lagi hanya dipandang secara pribadi dalam arti sempit. Kekudusan bukan hanya sekedar ’yang penting saya sendiri yang kudus’.

Dalam Imamat pasal 19, dapat diamati apa-apa saja yang Tuhan harapkan terjadi dengan orang yang menguduskan dirinya. Pertama-tama, Tuhan berkata: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus (Imamat 19:2). Setelah itu, mulai dari ayat 3, Tuhan memberikan serangkaian perintah kepada umat Israel. Serangkaian perintah ini tidak lain adalah konsekuensi atau implikasi yang harus terjadi bagi orang yang sudah kudus (ay. 2). Tuhan meminta orang kudus untuk: menghormati ibu dan ayah (ay. 3); memperhatikan orang miskin dan orang asing (ay. 9, 10, 33, 34); berlaku adil kepada sesama (ay. 13); bertindak jujur (ay. 35,36). Hal-hal yang diminta Tuhan ini menunjukkan bahwa kekudusan bukan hanya berdampak secara personal, tapi lebih dari itu berdampak secara horisontal. Kekudusan itu menjangkau.

Para ahli alkitab telah menyadari keberadaan sebuah transisi dari Imamat 1-16 yang bersifat ritual, ke Imamat 17-22 yang lebih bersifat etikal dan komunal. Bagian Imamat 17-22 menggambarkan karakteristik kehidupan yang berpadanan dengan TUHAN yang kudus; karakter ilahi ini dapat disebut sebagai keadilan/kebenaran (justice) dan kasih (love).[8]

Terkait hal ini, GBI Sukawarna - Rayon 2 memiliki kisah yang unik dalam perjalanan sejarahnya. Berikut adalah kutipan langsung dari kisah tersebut:[9]

’Tahun 1992 tidak ada lagi gedung pertemuan umum yang bersedia untuk menyewakan tempatnya secara permanen. Namun tiba-tiba ada satu tempat yang bersedia menyewakan tempatnya untuk ibadah bahkan bersedia dikontrak untuk waktu yang cukup lama. Tempat tersebut adalah gedung ’Paramount’ di Jalan Sudirman, tapi gedung ini sebenarnya cukup aneh jika dijadikan sebagai tempat ibadah, sebab gedung ini adalah sebuah night club ...
Saat tim Bandung mengabari Pak Niko, yang sedang berada di Jakarta, bahwa mereka mendapatkan gedung untuk ibadah Minggu yang merupakan sebuah night club, tentu ini bukan sebuah kabar gembira yang ingin didengar oleh Pak Niko, beliau berkata: ’Apa tidak ada tempat lain?’. Mereka menjawab: ’Tidak ada pak ..., dan kami sudah kehabisan waktu.’
Saat itu Pak Niko diperhadapkan dengan pilihan bahwa, jika mencari tempat lain, maka minggu itu tidak ada kebaktian Minggu. Jika minggu itu harus tetap diadakan ibadah, maka Paramount itulah satu-satunya tempat yang bisa digunakan. Tapi untungnya Pak Niko ingat kejadian yang hampir mirip dengan kasus di Bandung yaitu pengalaman beliau saat mengadakan KKR di kota Batam. Saat itu pak Niko hendak mengadakan KKR untuk pertama kalinya dan tidak mendapatkan tempat yang layak untuk acara tersebut. Saat itu tim Batam hanya dapat menyediakan sebuah gedung karaoke untuk mengadakan KKR tersebut. Saat itu pak Niko menyetujui penggunaan Karaoke untuk tempat KKR, sebab hadirat Tuhan tidak dapat dibatasi oleh tempat atau apapun juga. Dan memang benar, sekalipun KKR dilaksanakan di tempat karaoke, ternyata hadirat Tuhan turun begitu dahsyat dan Roh Kudus melawat umat-Nya yang hadir saat itu. Bahkan sampai kini Batam telah menjadi gereja yang cukup besar yaitu salah satu rayon di bawah penggembalaan Pak Niko. Dari pengalaman tersebut, sebenarnya Pak Niko tidak begitu merisaukan penggunaan night club untuk dijadikan tempat ibadah Minggu di Bandung. Hanya saja biasanya akan menuai ’nada-nada miring’ dari orang-orang yang tidak begitu mengerti ... Jadi bagi Pak Niko penggunaan night club Paramount tidaklah menjadi masalah, Tuhan bisa hadir di mana saja. Hanya saja, apa kata orang nanti? Dan kekhawatiran tersebut sangatlah beralasan, tidak lama setelah rekan-rekan Pak Niko mendengar bahwa beliau hendak mengadakan ibadah Minggu Bandung di tempat night club mereka mulai mencibir pak Niko, bahkan satu diantaranya memutuskan untuk tidak lagi bergereja di tempat Pak Niko menggembalakan. Memang keputusan yang berat bagi pak Niko untuk memilih antara tidak ada ibadah Minggu atau tetap ada beribadah tapi di sebuah night club. Bahkan Pak Niko menuturkan bahwa ini keputusan sulit, bahkan mungkin kita adalah gereja yang pertama di Bandung yang menggunakan night club untuk tempat ibadah kebaktian gereja.
Keputusan yang pak Niko ambil akhirnya keputusan yang sama saat ia harus memilih tempat karaoke untuk tempat KKR di Batam. Pak Niko menyetujui penggunaan gedung Paramount untuk menjadi tempat ibadah Minggu. Bahkan kontrak yang dibuat diajukan untuk jangka waktu 3 tahun ke depan. Maka dimulailah sejarah yang cukup unik dari gereja kita, yaitu melakukan ibadah gereja di sebuah night club. Ibadah raya dilaksanakan di ruang utamanya yang cahayanya remang-remang, sedangkan ibadah Sekolah Minggu dengan terpaksa dilaksanakan di ruang tunggu tamu night club. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa jika Tuhan ditinggikan, dipuji dan disembah, maka Roh Kudus melawat umat-Nya, sekalipun mereka harus beribadah ditempat yang merupakan sebuah night club. Hadirat Tuhan memenuhi tiap ruangan dan melawat umat-Nya setiap Minggu, banyak orang bertobat dan Tuhan menambahkan jemaat baru hari demi hari. Sampai akhirnya di tahun yang ke-3 jemaat, yang terdaftar telah mencapai sekitar 3.000 orang, dengan 4x jam ibadah Minggu dan 1x Kebaktian Tengah Minggu (KTM) di hari Rabu.’

VI. Kekudusan yang semakin kuat di akhir zaman

Gereja Tuhan sekarang ini hidup di akhir jaman, sesuai ucapan Rasul Petrus dalam Kisah 2:15-21. Apa yang akan terjadi di akhir jaman terkait dengan kekudusan? Malaikat Tuhan mewahyukan hal ini kepada Yohanes:

Wahyu 22:10-11,
Lalu ia berkata kepadaku: "Jangan memeteraikan perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini, sebab waktunya sudah dekat.
Barangsiapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar, biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!"

Begitu dekatnya kedatangan Tuhan sehingga seolah-olah orang hanya melanjutkan saja perilakunya yang sekarang. Daniel juga berbicara tentang orang-orang fasik yang akan terus dalam kefasikannya (Daniel 12:10); mereka ini akan menggenapi rencana Tuhan secara negatif. Hal ini hendaklah dimengerti dalam konteks sempitnya waktu yang tersedia untuk pertobatan. Tuhan tentu tidak sedang mendorong orang untuk tetap dalam kefasikannya, melainkan menyadarkan orang untuk bertobat dengan memakai gaya bahasa ironis.[10]

Inilah esensi yang terpenting bagi Gereja Tuhan di akhir jaman: ’Berjaga-jagalah’. Waktu yang ada terlalu pendek; jangan sampai terjebak ke dalam lingkaran setan (vicious cycle) kecemaran. Mereka yang berseru ’Maranata’ (Wahyu 22:20) adalah orang-orang yang tetap berada dan terus berjuang di jalur pengudusan.

VII. Menghidupi kekudusan dalam sebuah keseimbangan

Sebagaimana halnya Tuhan yang Kudus dipahami dalam paradoks kekudusan (lihat Pengertian Kekudusan), demikian pula hendaknya insan Pentakosta hidup dalam kekudusan yang ber-fase.

  1. Allah yang kudus terpisah. Ini berpadanan dengan fase pemisahan dalam kehidupan orang percaya. Dalam fase ini, orang percaya mungkin masih bayi atau anak-anak rohani. Perlu diberi makanan rohani yang padat (Ibrani 5:12) dan dilatih otot-otot rohaninya untuk berperang.
  2. Allah yang kudus menjangkau yang tidak kudus. Ini berpadanan dengan fase penularan. Dalam fase ini, orang percaya telah menunjukkan trajectory pengudusan dalam hidupnya dan bertumbuh kerohaniannya menjadi orang dewasa.

Insan Pentakosta akan menghidupi kekudusan dalam keseimbangan, yang tidak lain adalah cerminan dari hidup dan pelayanan Tuhan Yesus sendiri.

VIII. Aplikasi untuk Generasi Yeremia dan semua generasi yang menyelesaikan Amanat Agung

  1. Generasi ini harus memilih perbuatan kudus bukan dengan berat hati; bukan dengan gumaman dalam hati ’sebetulnya dosa lebih nikmat sih dari perbuatan kudus’; bukan dengan paradigma ’kekudusan itu sebenarnya kuno, tidak cool’. Anak muda memilih perbuatan kudus karena itulah perbuatan yang baik, indah, menyenangkan dan didambakan.
  2. Generasi ini harus melepas mentalitas yang melihat diri mereka terus menerus hanya sebagai korban keadaan, korban dosa, selalu ada dalam posisi yang ’bertahan’ dalam hal kekudusan. Sama seperti senjata peperangan rohani yang tidak hanya defensif melainkan juga ofensif, demikian juga Generasi Yeremia selayaknya mengadopsi mentalitas yang ofensif dalam hal kekudusan: anak muda pasti mempengaruhi teman-temannya dengan kekudusan mereka.
  3. Generasi ini hidup bukan lagi untuk dirinya sendiri karena Kristus yang hidup di dalam mereka (Galatia 2:20). Kekudusan bukanlah hanya tentang dirinya sendiri kudus, melainkan tentang jutaan anak-anak muda yang kudus.
  4. Generasi ini perlu mengalami percepatan dalam pertumbuhan rohaninya, oleh Roh Kudus yang memberdayakan mereka, menjadi pasukan-pasukan yang siap menginvasi dunia dengan kekudusan dan kingdom worldview. Setiap upaya invasi kerajaan ini pasti mengandung resiko sehingga perlu dipadankan dengan imbalan yang hendak didapatkan. [Cara pandang resiko dan imbalan ini telah dibahas di paper sebelumnya: FAITH & RISK].
  5. Generasi ini hidup dalam sebuah urgensi, ketergesaan (Keluaran 12:39), time is too short indeed! Pilihan-pilihan dalam hidup haruslah dipilih dengan kriteria kepentingan Kerajaan Allah dan urgensi kedatangan Tuhan yang kedua kali. (HT)

Catatan kaki

Lihat pula