Bagaimana memperkatakan Mazmur 91 dengan benar? (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 18 November 2022 15.53 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "| tanggal=" menjadi "| date=")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal23 Agustus 2020
PenulisPdp Dio A Pradipta, MTh
Video Voice of Pentecost 14 (Dio A Pradipta )
Unduh Unduh OSP

Di tengah kondisi Pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, hamba Tuhan dan pendeta biasanya merujuk kepada doa perlindungan dari teks Alkitab sebagai sumber pengharapan umat; salah satu teks yang umumnya digunakan adalah Mazmur 91.

I. Pendahuluan

Dengan sifat daripada kitab Mazmur yang memiliki genre puisi, maka pendekatan kepada teks dan cara menafsirkan secara kontekstual juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang baik. Khususnya pada Mazmur 91 yang memang memiliki keterbukaan di dalam latar belakang, konteks, masalah dan solusi yang ditawarkan di dalam pasal tersebut.[1] Banyak kemungkinan konteks dari Mazmur 91, di antaranya: bagian dari ritual pengudusan, doa berkat umum, doa perlindungan, perkataan nubuatan kepada raja tentang kemenangan perang, dan sebagainya. Keterbukaan inilah yang membuat para pembaca dapat berinteraksi dengan teks Mazmur 91 dalam hampir setiap konteks yang bisa dipikirkan.

Dalam penjelasan di bawah, penulis berusaha menempatkan teks Mazmur 91 di dalam genre puisi yang membutuhkan beberapa cara penafsiran khusus, analisa structural dari Mazmur 91, penelitian sejarah (receptive history) dari Mazmur 91, dan juga perspektif pentakostalisme terhadap Mazmur 91. Diharapkan dengan memahami berbagai pertimbangan dan sudut pandang yang ada, pembaca memiliki gambaran yang lebih holistik bagaimana menerapkan pembacaan Mazmur 91 di dalam kehidupan sehari-hari.

II. Analisa struktural Mazmur 91

Mazmur masuk ke dalam genre puisi yang berisikan kitab seperti Amsal, Ratapan, Kidung Agung, dan Ayub. Pengetahuan mengenai struktur, ragam, dan jenis majas yang digunakan dalam sastra puisi berperan besar di dalam menentukan makna Mazmur tersebut. Kekeliruan umum yang seringkali ditemukan adalah pendeta dan jemaat mengeksegesis secara berlebihan pernyataan-pernyataan yang ada secara literal, padahal hal itu adalah kiasan atau metafora dalam puisi.[2] Tentu kiasan dan metafora memberikan bobot yang berbeda daripada yang seharusnya, dan tidak bisa disamakan dengan surat-surat didaktik seperti Paulus dalam Perjanjian Baru.

Secara struktural, pembaca dapat membagi Mazmur 91 menjadi 2 bait yang parallel antara ayat 1-7 dengan ayat 9-13, lalu bait yang terakhir adalah ayat 14-16. Dikatakan parallel karena konsep pikiran yang dibuahkan oleh penulis Mazmur tersebut adalah mirip.[3] Seperti yang tampak pada gambar di bawah ini:[4]

Bait 1 Bait 2
Pengakuan Iman: “Allahku, yang kupercayai” (ay. 1-2) A Pengakuan iman: “TUHAN ialah… perlindunganmu” (ay. 9)
Janji penyelamatan dari Tuhan (ay. 3-4) B Janji penjagaan malaikat (ay. 11-12)
Tidak perlu takut bahaya (5-6) C Perlindungan dalam hidup (ay. 12-13)

Diikuti dengan respon dari TUHAN yang diposisikan sebagai suara pertama dalam ayat 14-16 membentuk bait ke-3. Bisa diperhatikan bahwa kalimat pengakuan dalam ayat ke-14, mengulangi pengakuan dari parallel A (ay. 1-2, 9). Hal ini bisa juga dimaknai sebagai rangkuman dari kedua bait sebelumnya dan juga menjadi peneguhan ultimate atas janji-janji yang diberikan sebelumnya.[5]

Pembacaan secara struktural di atas memberikan kesan bahwa penekanan perlindungan dan penyelamatan dari sang pemazmur terletak kepada Tuhan dan Allah yang memberikan, dan bukan dari yang lain. Perlindungan dari bahaya juga memiliki kaitan langsung dengan setiap permohonan/petisi yang diberikan (seperti yang tampak pada pengakuan iman pada pembukaan kedua bait tersebut).

Selanjutnya, di dalam menganalisa Mazmur 91, kata-kata metafora yang dipakai perlu diteliti juga.

  • Setelah pengakuan iman dari si Pemazmur di ayat 2, “jerat penangkap burung” dan “penyakit sampar” bisa juga merujuk kepada situasi perang.
  • Ayat 5-6 berbicara mengenai terror yang datang di waktu malam dan “panah” yang datang di waktu siang, memberikan gambaran sebuah kota yang dihadang musuh dari segala sisi siap untuk menyerbu masuk.[6]
  • Hal ini diperkuat dengan metafora pertolongan Tuhan digambarkan menggunakan tema perang seperti “perisai” dan “pagar tembok” di ayat 4. Di dalam perang, wajar bahwa korban yang berjatuhan begitu banyak sampai digambarkan dengan istilah “seribu rebah” dan “sepuluh ribu rebah”.
  • Gambaran pertolongan ilahi juga muncul pada ayat 4 yaitu “kepak-Nya” dan “sayap-Nya”. Pertolongan ilahi yang sama sudah digambarkan sebelumnya “kubu pertahananku” di ayat 1, sertai metafora “perisai” dan “pagar tembok”. Hal ini mungkin menggambarkan orang-orang yang berlindung di dalam benteng pertahanan kota terhadap ancaman invasi musuh (2 Samuel 5:7-9).[7] Sikap berharap kepada YHWH adalah umum diharapkan oleh bangsa Israel di tengah ancaman perang dari musuh (lih. Mazmur 31:1-6), menandakan sikap penuh harap dan bukannya ketakutan (Mazmur 27; 46).[7]
  • Menghubungkan “jerat penangkap burung” dan “penyakit sampar” pada ayat 3 dan ancaman “tulah” di ayat 10 dapat terlihat dalam konteks peperangan. Ketika sebuah kota dikepung oleh musuh, bahan makanan serta pasokan air pun biasanya terancam, dan wabah penyakit biasanya mengintai (1 Raja-raja 8:27). Ini adalah strategi musuh untuk memaksa raja dan pasukannya menyerah dan keluar dari benteng kota itu.[8]
  • Khusus pada ayat ke-5 dan ke-6, frasa “kedahsyatan malam”, “panah yang terbang di waktu siang”, “penyakit sampar”, dan “penyakit menular” secara penggunaan receptive history orang-orang Yahudi memiliki tradisi memberikan alusi kepada serangan setan.[9] Kalau memang serangan setan adalah yang dimaksud, maka secara logis perlindungan yang diharapkan oleh pemazmur adalah perlindungan supernatural dengan “malaikat…diperintahkan-Nya… untuk menjaga” (ay. 11-12).
  • Pada bagian terakhir, ayat 14-16, suara Allah diposisikan sebagai suara orang pertama dan mengafirmasi dan meneguhkan pengakuan dari pemazmur terhadap permohonan pertolongan: Allah menolong dan menyelamatkan mereka yang bersandar dan berharap kepada-Nya.[10] Karakteristik dari sang pemohon adalah mereka yang, “melekat kepada-Ku”, “mengenal nama-Ku”, dan “berseru kepada-Ku”. Ketiga hal ini menunjukkan sebuah hubungan yang intim dengan Tuhan serta berkelanjutan.[11]

III. Penggunaan Mazmur 91 dalam sejarah

Dengan melihat penggunaan Mazmur 91 dalam sejarah, pembaca dapat menemukan konteks bagaimana teks ini digunakan dalam Perjanjian Baru. Breed melakukan penelitian yang lumayan komprehensif, dimulai dari akhir periode bait suci ke-2 sampai kepada abad modern mengenai pengaplikasian Mazmur 91 ini.[12]

Breed melihat trajektori utama dari penggunaan Mazmur 91 adalah kegunaannya sebagai anti-setan/apotropaik. Apotropaik adalah fungsi mengusir atau menjauhkan bala/setan. Dalam bahasa Indonesia mungkin kata yang paling mendekati adalah jimat anti bala/anti setan. Penemuan golongan kitab suci di Qumran, termasuk penemuan potongan teks dari Mazmur 91 dan Mazmur lain yang diduga digunakan dalam ritual pengusiran setan.[13] Dari beberapa versi yang ditemukan, salah satunya adalah penemuan Mazmur 91 dengan superscript (sub-judul) diatribusikan kepada Daud. Hal ini mungkin merujuk kepada permainan music Daud yang juga bersifat apotropaik (1 Samuel 16:23).

Bukti kedua, salinan dari Septuaginta teks Mazmur 91 yang diproduksi sekitar tahun 250 BCE, menunjukkan penggunaan Mazmur 91 sebagai teks yang menahan serangan setan dalam komunitas diaspora saat itu.[13] Tentu terjemahan Yunani saat itu berusaha untuk merefleksikan kepercayaan orang Yahudi saat itu juga.

Penggunaan Mazmur 91 juga terlihat di dalam tradisi para rabi Yahudi, khususnya dalam doa menjelang tidur dan doa sore.[14] Salah satunya adalah dari Rabi Joshua B. Levi, yang menyarankan dalam Talmud (b, Shav, 15b), untuk Mazmur 91 dimasukkan dalam doa malam, menekankan kepada kekuatan magis dari teks Mazmur 91 tersebut (apotropaik). Bahkan hal ini masih ditegaskan jauh sampai kepada abad ke-13, di mana R. Meir dari Rothenberg dan di abad ke-15, seorang Talmudist Jacob Weil menerapkan doa Mazmur 91 sebelum tidur.[15]

Kalau dapat disimpulkan, maka pada periode akhir bait suci ke-2 ini, berbagai komunitas Yahudi menggunakan Mazmur sebagai interpretasi dan tafsiran terhadap situasi mereka dan harapan di masa depan. Pemahaman ini akan berguna untuk bisa melihat bagaimana memahami Mazmur di dalam Perjanjian Baru secara kristologis.[16] Penggunaan Mazmur 91 juga dapat diteliti dari konteks awal- awal pentakostalisme. Lee Roy Martin meneliti penggunaan beberapa Mazmur dalam kehidupan liturgi serta praktik jemaat awal kegerakan Pentakostalisme.[17]

Martin menemukan beberapa kegunaan Mazmur dalam penafsiran awal pentakostalisme, salah satunya adalah sebagai doa perlindungan dan keamanan.[18] Apa maksud dari doa perlindungan ini? Brueggemann mengategorikan Mazmur sebagai mazmur orientasi— disorientasi—dan reorientasi.[19] Mazmur 91 dimasukkan sebagai Mazmur orientasi, yaitu teks yang berisikan dunia ideal di mana orang bisa hidup dengan aman, membentuk framework bagi orang percaya dan komunitasnya. Dengan kata lain, mazmur ini menceritakan perlindungan Tuhan, kedaulatan Tuhan, dan kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya; mengorientasikan iman, pikiran, dan harapan mereka keluar dari kesusahan dan penderitaan hidup sehari-hari. Demikian juga umat Pentakosta menggunakan Mazmur 91 untuk mengorientasi iman dan kepercayaan mereka kepada Allah yang melindungi dan menyelamatkan di tengah-tengah ancaman bahaya kehidupan.

Penggunaan Mazmur 91 di tengah pandemic dapat ditemukan dalam jurnal The Apostolic Faith antara tahun 1906 dan 1915, di mana sebuah wabah di kota Portland melanda manusia saat itu, dan umat pentakosta diminta untuk memperkatakan Mazmur 91 sebagai doa.[20] Penggunaan lainnya di tengah wabah juga ditemukan dalam sebuah surat dari China di mana jemaat diminta percaya sebagaimana umat Israel diselamatkan dari tulah ke-10 dalam kitab Keluaran, maka orang percaya akan diselamatkan karena darah Yesus dan mereka mengutip Mazmur 91:7.[21] Martin menulis bahwa doa kepercayaan umat Pentakosta di tengah- tengah ancaman wabah dan sakit penyakit menggunakan Mazmur 91, itu konsisten dengan bagaimana orang Israel secara tradisi mempercayai karakter Allah seperti tertera di dalam teks tersebut.[20]

IV. Bagaimana orang percaya membaca Mazmur 91 di zaman sekarang?

Setelah diteliti dari penggunaannya dari bangsa Israel dan juga orang Kristen, maka teks Mazmur 91 tidak jauh-jauh dari doa perlindungan dan kepercayaan di tengah-tengah ancaman bahaya kehidupan. Penulis berpendapat bahwa penggunaan teks Mazmur 91 sebagai apotropaik (jimat anti setan/anti penyakit) perlu dihindari karena tidak ada dasar Alkitab yang valid, dan cenderung menekankan unsur magis ketimbang kepercayaan kepada Allah. Pembaca perlu melihat Mazmur 91 dari sisi Perjanjian Baru (kristologis) dan juga dari sisi pentakostalisme.

Mazmur 91 dikutip oleh iblis ketika hendak mencobai Yesus di dalam Matius 4:1-11 (khususnya ayat 5-7). Dari penelitian secara receptive history di atas, maka ditemukan adanya kemungkinan teks tersebut digunakan secara apotropaik pada akhir periode bait suci ke-2.[22] Teks yang digunakan sebagai apotropaik, malah digunakan oleh iblis untuk menyerang Yesus. Ada 2 kemungkinan: pertama, Iblis mengeluarkan teks janji Allah tentang pertolongan di luar konteks atau kedua, Iblis tahu penggunaan teks ini di jaman Yesus dan menggunakan teks tersebut untuk menyerang balik Yesus.

Pemilihan teks Mazmur 91 oleh iblis dalam pencobaan Yesus bukan secara acak, melainkan Matius menulis ini dengan tujuan tertentu.[23] Pencobaan Yesus yang kedua adalah menggunakan teks Firman Tuhan untuk mencobai Allah lewat ancaman bahaya. Iblis memindahkan Yesus ke atas bubungan bait Allah (simbol perlindungan), dan meminta Dia jatuh (Matius 4:6) dengan mengingatkan Yesus tentang janji perlindungan Allah.[24] Bagi orang Israel, bait suci adalah symbol perlindungan dan penyertaan Tuhan (Bilangan 10:35; 2 Samuel 15:25), dan ini adalah tempat yang secara spiritual diyakini paling aman. Tetapi di sinilah Iblis mencobai Yesus dengan teks Mazmur 91 yang adalah doa perlindungan.[25]

Orang percaya di zaman sekarang, tidak bisa mengikuti jejak Iblis yang menggunakan ayat Firman untuk mencobai Allah. Penggunaan ayat yang di luar konteks akan menyebabkan bahaya terjerumus kepada pemahaman yang salah mengenai karakter Allah itu sendiri. Dalam situasi kesesakan dan kesusahan hidup—ketika pembaca sudah di dalam bait suci (alusi kepada Mazmur 91:1-2, dan berada di ambang masalah—apakah pembaca akan mengutip ayat dan mencobai Allah seperti Iblis? Penulis berharap respons seperti Yesus yang menjadi rujukan, yaitu Yesus tetap percaya kepada pemenuhan janji Allah (setelah selesai masa pencobaan di padang gurun, malaikat datang untuk melayani-Nya di ay. 11) tanpa tergoda untuk mencobai Allah.

Di tengah ancaman wabah dan krisis, orang percaya diminta untuk memiliki kepercayaan penuh kepada Firman Tuhan. Meskipun teks Mazmur 91 telah diteliti secara receptive history, secara Analisa structural dan eksposisi, pada akhirnya orang percaya diminta memiliki iman terhadap pesan yang dikomunikasikan dari teks tersebut di atas metode kritis historis dan gramatikalnya.[26] Perhatikan bahwa Yesus membalas serangan Iblis juga dengan kutipan Firman, yang artinya Iblis mengutip Firman secara selektif dan di luar konteks. Di luar konteks maksudnya adalah dengan sengaja menaruh diri di dalam bahaya dan mencobai Allah untuk menepati janji perlindungan-Nya.[27]

Di tengah kondisi wabah dan pandemi, pembaca dapat belajar dari cara orang Pentakosta mula-mula menggunakan Alkitab, khususnya teks Mazmur 91. Mereka mempercayai betul janji Firman dan memperkatakannya—mengetahui ancaman wabah itu berbahaya dan bisa merenggut nyawa. Keteguhan iman untuk bisa tetap percaya kepada Allah ketika realita dunia bertabrakan dengan janji Firman Tuhan adalah karakteristik iman Alkitabiah yang dimiliki juga oleh orang Israel. Umat Pentakosta meyakini mereka melanjutkan cara hidup jaman sekarang dengan perspektif jemaat mula-mula: mengharapkan Allah untuk bertindak dan membuat mujizat.[28] Narasi Alkitab biasanya menggambarkan mujizat secara dramatis dan penulis kitab itu mungkin tidak bermaksud pembaca di jaman sekarang memaknai bahwa mujizat itu selalu berlaku di manapun dan kapanpun oleh siapapun.[28] Tetapi di narasi itulah kita menemui realita Allah bekerja dan bertindak secara dramatis, sampai pada tahap menantang kepercayaan pembaca untuk hidup dalam iman.

V. Tanggapan pastoral antara Mazmur 91 dengan COVID-19

Di sini akan dibahas beberapa pertanyaan yang mungkin umum ditanyakan jemaat terkait pembacaan Mazmur 91 dalam konteks pandemi COVID-19. Harapannya adalah ini dapat memberikan bantuan pastoral kepada para hamba Tuhan dalam menjawab pertanyaan jemaat.

A. Kenapa setelah menghapal Mazmur 91 tetap terkena COVID-19 dan bahkan meninggal?

Ketika Pendeta atau hamba Tuhan meminta jemaat untuk membaca, merenungkan, dan memperkatakan Mazmur 91, seringkali ditanggapinya seperti jimat yang 100% anti sakit dan anti berita buruk. Tetapi realitas kehidupan di dalam Alkitab serta kehidupan sehari-hari tidak pernah menyiratkan maksud yang demikian. Sekali lagi, Mazmur 91 harap dimengerti sebagai ungkapan doa kepercayaan dan perlindungan umat kepada Tuhan. Kata doa sendiri secara umum dimaknai sebagai permohonan. Kita memohon kepada Tuhan untuk perlindungan dan keselamatan, sebagaimana kita berdoa setiap harinya meminta perlindungan Tuhan untuk keluarga kita.

Kata-kata dalam Mazmur 91 adalah pernyataan iman sang pemazmur dalam menghadapi masalah kehidupan, yang ditulis secara hiperbola untuk menyatakan kepercayaan penuhnya kepada Tuhan. Hal ini jangan dimaksudkan sebagai kalimat-kalimat anti-sakit/anti-kabar buruk 100% absolut. Sikap orang percaya dalam menghapal dan memperkatakan Mazmur 91 adalah sikap penyerahan diri dan jiwa kepada Tuhan sepenuhnya, bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan sanggup membawa kemuliaan bagi Dia (Roma 8:28). Begitupun dengan kondisi orang percaya yang meninggal karena COVID-19 ataupun penyakit lain, tidak menandakan bahwa Tuhan ingkar janji. Di luar konteks COVID-19, sering juga ditemukan orang percaya yang meninggal karena alasan natural (sakit, umur, bencana) maupun kecelakaan (Pengkhotbah 3:1-2).

Justru umat diajak untuk menyadari kefanaan tubuh dan pendeknya hidup lewat peristiwa pandemi COVID-19 ini dan diajak untuk berpaling kepada Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibrani 12:2). Hidup manusia seharusnya menjadi kesaksian iman bahwa meskipun, “mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik” (Ibrani 11:39). Kesaksian apa yang baik itu? Kesaksian bahwa meskipun mereka tidak menerima apa yang dijanjikan, tetapi iman mereka tetap teguh dan tidak goyah.

B. Apa batasannya memperkatakan Mazmur 91 yang tidak mencobai Tuhan?

Iblis mencobai Yesus di dalam Matius 4:6-7 dengan mencobai agar Yesus jatuh dari atas Bait Allah dan menjatuhkan dirinya dengan sengaja, karena akan ada pertolongan malaikat Tuhan sesuai Mazmur 91:11-12. Hal ini masuk dalam kategori mencobai Tuhan karena dengan sengaja menaruh diri dalam bahaya, tidak mengikuti kehendak Bapa, dan mengklaim janji Tuhan. Ini jelas salah konteks, karena doa dan permohonan menjadi bersifat egosentris (Yakobus 4:3).

Dalam konteks pandemi COVID-19 ataupun dalam situasi yang mirip dengan ini, umat percaya bisa masuk dalam ranah mencobai Tuhan apabila tidak mengindahkan anjuran pemerintah untuk hidup dengan protocol kesehatan yang ketat (memakai masker, mencuci tangan, dsb.) serta dengan sengaja dan atas kehendak sendiri memaparkan diri kepada virus COVID-19. Begitu terkena virus, lalu mengklaim janji Tuhan tentang perlindungan ilahi. Hal ini masuk ke dalam ranah mencobai Tuhan.

Untuk itu perlu dipahami bagaimana hidup beriman dan berhikmat. Memperkatakan Mazmur 91 sebagai rujukan doa permohonan untuk perlindungan setiap harinya tidaklah salah, malah meningkatkan iman kepercayaan kepada Tuhan sang sumber itu sendiri. Ditambah dengan hidup berhikmat, sembari umat berdoa dan berserah kepada Tuhan, protokol kesehatan juga perlu diterapkan dengan baik. Jangan orang percaya bersikap seolah hendak mencobai Firman, dengan pergi keluar tanpa masker dan tidak mengindahkan protocol kesehatan. Kalau terpapar COVID-19 itu adalah karena konsekuensi dari perbuatannya sendiri, dan bukan kegagalan Allah dalam melindungi.

C. Apakah Mazmur 91 tidak bisa diimani secara literal? Berarti janji Tuhan tidak literal juga dong?

Orang percaya mungkin terbersit pemikiran, “kalau janji Tuhan di dalam Mazmur 91 tidak dapat ditanggapi secara literal (apa adanya), berarti semua janji Tuhan juga hanya kiasan belaka saja.” Hal ini jangan dipandang seperti ini, karena tidaklah demikian. Pemenuhan janji Tuhan adalah ya dan amin, serta pasti adanya dari sisi Tuhan.

Ketika Yohanes pembaptis dipenjara, dia mengalami krisis iman, karena apa yang dialaminya tidak sesuai dengan ekspektasi tentang Yesus, sang Mesias yang diharapkannya (Matius 11:1-12). Yohanes mengirim utusan kepada Yesus untuk menanyakan apakah Dia itu sang Mesias yang dinantikan. Padahal baru beberapa pasal sebelumnya, Yohanes sendiri yang membaptis Yesus dan menyaksikan Surga terbuka dan Roh Kudus dalam wujud merpati turun serta ada suara berbicara secara jelas dari Surga (Matius 3:13-17).

Yohanes mengalami krisis iman, karena ekspektasi pemenuhan janji Tuhan sebagai mesias belum kunjung dilihatnya, bahkan akhir kisah Yohanes adalah dia dipenggal oleh Herodes (Matius 14:1-12). Apa perkataan Yesus kepada murid Yohanes Pembaptis? “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Matius 11:4-5). Yesus menyatakan bahwa semua nubuatan mengenai Mesias di dalam kitab Perjanjian Lama telah dipenuhi dalam diri-Nya.

Karena itu, orang percaya sekarang tidak boleh goyah iman karena seolah-olah Tuhan tidak menjawab doa dan melihat banyak yang meninggal karena COVID-19; justru di tengah-tengah momen seperti ini, umat Tuhan harus bangkit sebagai pemenang dengan cara mewartakan kebaikan Tuhan, menunjukkan kasih-Nya, dan menyaksikan iman yang benar: iman yang tidak goyah apapun yang terjadi. Meskipun doa kita tidak terjawab, ini tidak merubah fakta bahwa Tuhan adalah “tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (Mazmur 91:2).

D. Bagaimana dengan anggota keluarga saya yang sudah terpapar COVID-19?

Sebagai hamba Tuhan dan sesama orang percaya, kita ditugaskan untuk saling menguatkan dan menghibur satu sama lain (Roma 15:1; Galatia 6:2; Ibrani 3:12-13) agar jangan ada iman yang goyah. Perlu diingat bahwa apa yang terjadi dalam hidup orang percaya, baik itu baik maupun buruk, tidak mendefinisikan siapa Tuhan. Malah, orang percaya diminta untuk melihat kehidupan ini dari perspektif kekekalan: bahwa hidup ini sementara, dan cara hidup kita diminta untuk memuliakan Tuhan, dan akan ada upah yang menanti dalam kekekalan itu. Umat Pentakosta masih meyakini ada mujizat dan kesembuhan ilahi terjadi, dan itu yang perlu dilakukan hari-hari ini (1 Petrus 2:24; Yesaya 53:5). Kita memiliki keberanian berdoa karena Allah mendengarkan doa kita (1 Yohanes 5:14-15), dan kesembuhan secara sempurna akan dinikmati nanti pada saat kita bersama Tuhan di Surga untuk selama-lamanya.

VI. Kesimpulan

Penggunaan teks Mazmur 91 secara sejarah (receptive history), pembaca dapat melihat trajektori umum yang orang Yahudi dan gereja terapkan adalah fungsi apotropaik atau seperti doa anti bala. Sejarah gereja juga mencatat beberapa penggunaan Mazmur 91 di tengah wabah sebagai rujukan doa perlindungan dan keselamatan umat. Penulis berharap agar pembaca menghindari penggunaan teks Mazmur 91 secara magis, dan lebih melihat teks ini sebagai ajakan umat untuk kembali mempercayai Tuhan di tengah ancaman dan bahaya. Penggunaan majas metafora dan hiperbola di dalam teks Mazmur tidak bias dimaknai secara literal, dan karena itu pendeta serta pemimpin gereja harus bisa menjelaskan dengan benar kepada umat bagaimana cara membaca teks Mazmur sesuai konteks. Pada akhirnya, umat Pentakosta tetap diminta membaca dengan iman yaitu mempercayai janji-janji Tuhan sebagaimana jemaat mula-mula berharap ada mujizat dan intervensi Allah di kehidupan mereka. Ketegangan antara klaim Firman dan realita dunialah yang merupakan tali di mana orang percaya berjalan di dunia ini. (DAP)

Daftar pustaka

  • Berlin, Adele dan Brettler, Marc Zvi. “Psalms”. The Jewish Study Bible. Editor Adele Berlin dan Marc Zvi Brettler. Oxford: Oxford University Press, 2004.
  • Breed Brennan.” Reception of the Psalms: The Example of Psalm 91”. The Oxford Handbook of The Psalms. Editor William P. Brown. New York: Oxford University Press, 2014.
  • Brueggemann, Walter dan Bellinger, William H. “Psalms”. New Cambridge Bible Commentary. Editor Ben Witherington III. New York: University Press, 2014.
  • ________. The Psalms and The Life of Faith. Minneapolis: Fortress Press, 1995.
  • Botha, Phil J. “Psalm 91 and Its Wisdom Connections”. Old Testament Essays Vol. 25 no. 2 (2012).
  • Dunn, James D.G. dan Rogerson, John W. Eerdmans Commentary on The Bible. Grand Rapids: Michigan, 2003.
  • Francois P. Viljoen, Francois P. “The Matthean Characterization of Jesus by Angels”. HTS Theological Studies Vol. 76 no. 4 (2020).
  • Gerhardson, Birger. The Testing of God’s: Matt. 4:1-11 & PAR. Oregon: Wipf and Stock, 2009.
  • Goldingay, John. Psalms. Grand Rapids: Baker Academics, 2008.
  • Keener, Craig. Spirit Hermeneutics: Reading Scripture in Light of Pentecost. Grand Rapids: Eerdmans, 2016.
  • Martin, Lee Roy. “The Use and Interpretation of the Psalms in Early Pentecostalism as Reflected in The Apostolic Faith from 1906 through 1915”. Old Testament Essays, Vol. 30, no. 3 (2017).
  • Osborne, Grant R. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Surabaya: Momentum Publishing, 2012.
  • Waltke, Bruce dan Houston, James M. The Psalm as Christian Worship: A Historical Commentary. Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 2010.

Catatan kaki

Lihat pula