Perayaan Natal (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 20 Desember 2020 02.58 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal20 Desember 2020
Video Voice of Pentecost 27 (Catherine Nathania Bunjamin )
Unduh Unduh OSP

Perayaan Natal adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh Gereja selama ribuan tahun.

I. Pendahuluan

Natal adalah momen umat Kristiani memperingati kelahiran Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat manusia yang datang dan lahir ke dalam dunia. Natal telah menjadi suatu realita yang tak terpisahkan dari dinamika yang mempengaruhi kehidupan manusia di atas muka bumi ini, tidak peduli apakah mereka percaya atau tidak kepada Yesus Kristus yang adalah tokoh sentral perayaan Natal itu sendiri.

Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, beberapa orang Kristen, bahkan beberapa Gereja/jemaat di dalam GBI, menolak dan menentang untuk merayakan Natal. Alasan-alasan yang dikemukakan atas keberatan perayaan Natal antara lain:

  • Itu adalah perayaan dunia, yang berasal dari perayaan pagan.
  • Tidak ada perintah untuk merayakan Natal dalam Alkitab.
  • Beberapa simbol dan ornamen Natal merupakan budaya pagan.

Forum Teolog GBI yang berada dalam Departemen Teologia Badan Pekerja Harian GBI, pada tahun 2018 telah menerbitkan buku Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia di mana sikap GBI terhadap Perayaan Natal juga termasuk di dalamnya. Perlu diperhatikan pula bahwa beberapa anggota Tim Teologia GBI Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta pun adalah anggota Forum Teolog GBI yang ikut menyusun buku sikap teologis tersebut. Tulisan ini akan banyak mengutip sikap teologis GBI terhadap Perayaan Natal, sekaligus memberikan sikap/pandangan terhadap beberapa hal yang tidak diangkat dalam buku tersebut. Tujuan akhir dari tulisan ini adalah bahwa insan Kristiani, khususnya jemaat GBI boleh dan amat di dorong untuk merayakan Natal.

II. Pengertian kata "Natal"

Kata "Natal" berasal dari bahasa Latin Natalis yang artinya lahir atau kelahiran. Kata ini dipergunakan di Indonesia dibawa oleh misionaris Katolik untuk menyatakan hari kelahiran Yesus, yang secara universal diantara mayoritas denominasi Kristen di dunia disepakati jatuh pada tanggal 25 Desember kalender Masehi.

Kata "Christmas", yaitu Natal dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Inggris kuno Christes maesse atau Christ’s mass yang artinya penderitaan Kristus. Ini adalah pandangan yang menjelaskan bahwa Kristus memulai penderitaan-Nya dimulai dengan Dia datang dan lahir sebagai manusia.[1]

Jadi Natal selalu terkait dengan kelahiran Yesus Kristus ke dalam dunia sebagai manusia.

III. Sejarah perayaan Natal

A. Sejarah penentuan 25 Desember sebagai hari Natal

Salah satu keberatan utama penolakan Natal adalah argumen bahwa Natal merupakan perayaan non-Kristen (kafir/pagan) yaitu festival Romawi yang bernama Natalis Solis Invicti, yaitu "Hari Kelahiran Matahari yang Tak Terkalahkan" yang diprakarsai oleh Kaisar Aurelius tahun 274 M. Festival ini juga dikaitkan dengan Saturnalia yaitu hari yang didedikasikan kepada Saturnus. Festival ini dilakukan pada titik balik matahari di musim dingin yang umumnya jatuh pada tanggal 25 Desember (winter solstice). Pada era pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung yang menjadi Kristen pada tahun 325 M, festival Romawi tersebut diganti menjadi perayaan hari kelahiran Yesus, sang ‘surya kebenaran’ (Maleakhi 3:2; Mazmur 84:12) dan sang ‘surya pagi dari tempat tinggi’ (Lukas 1:78). Fokus penyembahan yang tadinya kepada matahari, diganti menjadi penyembahan kepada Tuhan yang menciptakan matahari (Kejadian 1:14-18, bdk. Kolose 1:16). Dengan demikian, pengalihan tanggal 25 Desember dari perayaan kelahiran matahari kepada Kristus sebagai Sang Matahari Kebenaran memiliki dasar Alkitabiah. Mengambil alih hari raya matahari menjadi hari kelahiran Yesus Kristus, tidaklah membuat orang-orang Kristen menjadi penyembah matahari.[2]

Patut diperhatikan juga, bahwa penentuan tanggal Natal berbeda-beda antar denominasi, walaupun 25 Desember adalah yang paling banyak digunakan. Gereja-gereja timur seperti Ortodoks Siria dan Yunani misalnya, menetapkan tanggal 6 Januari sebagai hari Natal. Gereja-gereja mulai merayakan Natal secara serentak baru pada permulaan abad ke-5 Masehi.[3] Itulah sebabnya perayaan-perayaan Natal umum dilakukan antara awal bulan Desember hingga Januari. Hal ini karena sukar untuk menentukan pada tahun, tanggal dan bulan yang presisi kapan Yesus dilahirkan. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa Yesus benar-benar pernah dilahirkan.

Tradisi Gereja-gereja Eropa yang dimulai dari denominasi Katolik, melihat tanggal 25 Desember sebagai kelanjutan yang pas dari perayaan hari Annunciation pada tanggal 25 Maret, yaitu hari yang dipercaya secara tradisi Maria menerima kabar dari malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung Mesias. Tanggal 25 Maret ini paralel dengan tanggal 14 Nisan kalender Ibrani, di mana menurut tradisi Yahudi terjadi peristiwa-peristiwa penting (lihat Tabel 1 di bawah). Tradisi gereja-gereja Eropa meyakini bahwa momen konsepsi dalam rahim Maria terjadi pada tanggal tersebut, sehingga ketika dihitung 9 (sembilan) bulan sesudahnya maka tanggal 25 Desember menjadi masa kehamilan yang wajar.

Tabel 1. Paralelitas tradisi 25 Maret dan 14 Nisan
Tradisi 25 Maret Kalender Julian Tradisi 14 Nisan Kalender Ibrani
  • Maria menerima kabar dari Gabriel
  • Kematian Yesus di kayu salib
  • Jumat Agung
  • Hari penciptaan dunia
  • Hari keluar dari perbudakan Mesir
  • Paskah Yahudi

Melihat hal tersebut di atas kita dapat menerima tanggal 25 Desember sebagai tanggal tradisi perayaan natal, namun bukan sesuatu yang bersifat mutlak sehingga kita tidak harus merayakan tepat pada tanggal 25 Desember.

B. Perayaan Natal lebih dahulu daripada Festival Kelahiran Matahari

Sekalipun Natal tanggal 25 Desember baru terjadi pada pertengahan abad ke-4 dan "mendunia" mulai abad ke-5, perayaan kelahiran Kristus sendiri sudah dilakukan oleh gereja-gereja jauh sebelumnya, bahkan lebih dahulu dibandingkan dengan perayaan matahari yang mulai tahun 274 M. Beberapa bukti bahwa Natal sudah lebih dahulu dilaksanakan:[4]

  1. Irenaeus (130-202 M) dalam bukunya Adversus Haereses menuliskan bahwa hari Annunciation 25 Maret adalah hari pembuahan bayi Yesus dan juga kematian-Nya. Irenaeus juga mengaitkan peristiwa pembuahan Yesus ini dengan kelahiran-Nya di winter solstice. Semuanya ini diperingati dan dimasukkan dalam agenda gereja.
  2. Hippolytus (204 M) menyatakan hal yang serupa dengan Irenaeus.
  3. Sextus Julius Africanus dan Cyprianus juga menyatakan hal yang serupa.

Melihat catatan-catatan para petinggi gereja tentang perayaan kelahiran Yesus, maka perayaan Natal 25 Desember bukanlah upaya Kristenisasi dari festival matahari orang-orang non-Kristen, malah mungkin sebaliknya adalah bahwa festival matahari adalah upaya romanisasi hari Natal.

Tidak heran, bahkan setelah Kaisar Konstantinus Agung menjadi Kristen, sejarah Romawi menunjukkan bahwa festival matahari masih terus diupayakan oleh orang Romawi non-Kristen hingga tahun 354 M.[5] Ini nampaknya usaha dari kaum kafir/pagan untuk menarik orang-orang Kristen kembali kepada paganisme. Upaya ini mendapat tantangan besar pada tahun 345 M, yaitu saat Uskup Roma (kelak menjadi Paus), Julius I, membuat ibadah tandingan terhadap festival matahari, yaitu dengan membuat perayaan Natal tanggal 25 Desember 345 di kota Roma guna melihat mana yang lebih banyak menarik warga: gereja atau kuil Sol/kuil Saturnus. Ternyata gereja-gereja lebih banyak dipenuhi oleh warga Roma. Semenjak itu festival Natalis Solis Invicti semakin kehilangan pamor dan memudar dengan sendirinya. Uskup Roma, Julius I menetapkan secara resmi 25 Desember sebagai hari Natal dan ini diikuti oleh gereja-gereja hingga kini.[6]

IV. Perayaan Natal secara esensial adalah Alkitabiah

GBI mengambil posisi bahwa perayaan Natal secara esensial adalah tidak keliru.[7] Pandangan yang mengatakan bahwa perayaan Natal adalah hal yang tidak boleh dilakukan karena tidak ada perintah atau terdapat dalam Alkitab adalah pendapat yang tidak tepat. Jangan sampai kita memaksakan penafsiran yang ayatiah/literal, sehingga apabila tidak ada ayat pendukungnya maka dianggap keliru dan tidak boleh dilakukan, padahal secara esensial justru Alkitabiah. Merayakan, menceritakan, mengingat dan mewartakan kehidupan Yesus mulai dari kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya adalah justru hal yang harus dilakukan oleh Gereja dalam memuridkan jemaat dan memberitakan Injil Kristus (Matius 28:19-20; Kolose 1:28; bdk. 2 Timotius 4:2)

Perayaan Natal oleh gereja justru selalu menjadi momen yang baik untuk menyegarkan jiwa dan iman umat Tuhan, dan momen untuk menceritakan kasih Tuhan yang luar biasa kepada dunia yaitu Bapa mengutus Anak-Nya, Kristus Yesus, datang ke dunia menjadi sama dengan manusia untuk menebus manusia dari dosa-dosa mereka. Merayakan Natal artinya memuliakan Allah (Gloria Dei), memberitakan firman Allah (Verbum Dei) dan melaksanakan misi Allah (Missio Dei).[7]

Upaya-upaya untuk mendiskreditkan hari Natal adalah justru upaya-upaya untuk memecah-belah umat Kristen dan untuk menghalangi pemberitaan tentang kedatangan Kristus yang pertama kali dan rencana karya Keselamatan-Nya.

7 (tujuh) fokus Natal menurut Lukas 1 dan 2 adalah:

  1. Fokus kepada kekudusan dan ketaatan: Tuhan memberikan perkenanan kepada mereka yang hidupnya benar dan tak bercacat di hadapan-Nya (Lukas 1:6, 28-30; 2:25-26).
  2. Fokus kepada Roh Kudus: urapan dan pencurahan Roh Kudus-lah yang memungkinkan umat TUHAN menerima dan melakukan perbuatan baik, besar dan ajaib (Lukas 1:15, 34-35, 41).
  3. Fokus kepada mujizat dan tanda-tanda ajaib: Tuhan membuktikan bahwa Ia sanggup melakukan hal-hal yang ajaib; melampaui akal manusia (Lukas 1:7-24, 34-35, 2:9, 13-14).
  4. Fokus kepada pujian dan penyembahan: kehadiran Allah dalam hidup kita harus diresponi dengan penyembahan dan penyerahan diri (Lukas 1:38, 46-55, 67-79; 2:20, 28-32, 38).
  5. Fokus kepada keselamatan bagi semua bangsa: kedatangan Yesus Kristus adalah bagian dari rencana keselamatan Allah bagi dunia (Lukas 2:10-11, 14, 30-32).
  6. Fokus kepada Bapa yang setia: Bapa di Sorga menunjukkan bahwa Ia adalah Allah yang setia kepada setiap perjanjian yang Ia buat dengan manusia (Lukas 1:54-55, 73-75; 2:25-32).
  7. Fokus kepada Kristus, yaitu Tuhan hadir dalam hidup kita: hal yang terindah adalah bahwa Tuhan tidak meninggalkan kita, Dia ada di antara kita dan hadir dalam hidup kita (Lukas 1:43; 2:11, 38, 46).

V. Menyikapi beberapa simbol dan ornamen Natal

Salah satu effect dari sukacita perayaan peringatan kelahiran Juruselamat adalah bahwa orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya, juga ingin mendapatkan kegembiraan yang sama tanpa melibatkan Kristus di dalamnya. Satu sisi hal ini bisa dikatakan positif karena bagaimanapun juga Natal pasti terkait dengan Kristus, namun dalam sisi lain dikatakan negatif karena hanya ingin mendapatkan kegembiraan Natal tanpa melibatkan sumber sukacita itu sendiri, yaitu Kristus. Besarnya "gegap-gempita" Natal membuat begitu banyak simbol dan ornamen yang dikaitkan dengan Natal, yang sesungguhnya beberapa dapat diterima secara iman/tradisi Kristen, namun ada juga yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pesan atau peristiwa Natal itu sendiri.

Beberapa simbol dan ornamen yang umum dikaitkan dengan Natal:

  1. Ucapan "Happy Holiday" atau "X-Mas" atau "Season’s Greeting"
    • Dipopulerkan di Amerika Serikat, dengan maksud agar perayaan Natal tidak menyinggung perasaan orang-orang non-Kristen yang tetap ingin merasakan sukacita Natal.
    • Penggunaan kata "Merry Christmas" atau Selamat Hari Natal dipandang sebagai kata-kata yang offensive dan racist, oleh karenanya kata Christ atau Kristus dihapuskan atau diganti dengan huruf "X" yang sebenarnya dalam tatanan bahasa Inggris kata X-Mas tidak ada artinya.
    • Kesimpulan: sebagai umat Kristiani kita tidak boleh malu untuk mendeklarasikan bahwa Natal adalah harinya Kristus (Christmas, lihat kembali catatan rum II di atas). Penggunaan kata "Happy Holiday", "X-Mas" dan "Season’s Greeting" tidak mencerminkan peruntukan Natal untuk memuliakan dan memberitakan Allah.
  2. Pohon Natal/Christmas Tree
    • Budaya Jerman yang dipopulerkan oleh misionaris ke Jerman, St. Bonifasius (abad ke-7) dan Pendeta Martin Luther (abad ke-16). Meluas ke Inggris pada zaman pemerintahan Ratu Victoria (mulai tahun 1854) dan dari sana ke seluruh dunia.
    • St. Bonifasius menggunakan pohon cemara yang dapat bertahan di segala musim sebagai metafora kasih Kristus yang tak berkesudahan.
    • Keberatan atas penggunaan Pohon Natal umumnya menyebutkan Yeremia 10 dan Yesaya 44 sebagai dasar penolakan. Namun penggunaan kedua pasal itu menjadi di luar konteks karena di dalam kedua pasal itu pohon yang dimaksud digunakan sebagai obyek penyembahan, sementara pohon Natal adalah dekorasi. Lagipula tidak ada cabang pagan manapun yang mengklaim pohon Natal sebagai obyek penyembahan.
    • Kesimpulan: menggunakan pohon Natal sebagai dekorasi atau ornamen Natal adalah diperbolehkan, namun bukanlah suatu keharusan.
  3. Lilin Natal/Candlelight
    • Mulai digunakan pertama kali dalam perayaan Natal oleh gereja-gereja Moravia pada abad ke-18, yang melarikan diri dari persekusi gereja tradisional pada waktu itu. Di tengah-tengah pengungsian dan musim salju yang menusuk, para orang tua Moravia menggunakan lilin menyala untuk mengajar anak-anak mereka bahwa sekalipun hidup rasanya susah dan "gelap" tetapi karena Kristus datang dan diam di hati kita, maka terang akan selalu ada dalam hidup kita.
    • Gereja-gereja Moravia tercatat dalam sejarah melakukan menara Doa 24 jam sehari selama 100 tahun penuh tanpa terputus! Gereja ini berpengaruh kepada John Wesley, kegerakan kelompok sel ("COOL"), menara doa dan kegerakan misi dunia, yang mana semuanya sangat berpengaruh pada teologia dan dinamika gereja-gereja pentakosta.
    • Kesimpulan: menggunakan lilin Natal sebagai bagian dari dekorasi atau bagian dari perayaan Natal adalah hal yang diperbolehkan.
  4. St. Nicholas, Father Christmas, Santa Claus
    • St. Nicholas (270-343 M) adalah Uskup di kota Smyrna, Turki. Terkenal senang mengajar firman Tuhan dan sangat memperhatikan kehidupan anak-anak, terutama yang sengsara. Sempat dipenjarakan oleh Kaisar Diocletian, tetapi dibebaskan oleh Kaisar Konstantinus Agung. St. Nicholas menjadi salah satu kunci keberhasilan Konsili Nicaea dalam merumuskan Doktrin Tritunggal. Terkenal sangat tegas dalam mengajarkan Kristologi.
      Dia juga adalah patron pelindung atas kota New Amsterdam, yang kemudian berubah nama menjadi New York.
    • Father Christmas adalah personifikasi demi-god dari agama pagan Druid, Inggris kuno. Dikenal awalnya dengan nama "Yule" atau "Lord Misrule", terkenal dengan badan gemuk, menaiki kambing, demi-god ini mendorong orang untuk mabuk-mabukan dan sangat anti anak-anak. Pada abad ke-15, Yule dipopulerkan namanya menjadi Father Christmas. Kambing diganti kereta yang ditarik rusa-rusa terbang. Gereja Protestan dan Kaum Puritan menentang keras gambar dan sosok ini masuk dalam gereja atau liturgi perayaan Natal.
    • Di zaman modern, sosok St. Nicholas dan Father Christmas di-"kawinkan" menjadi sosok Santa Claus atau dalam bahasa Belanda disebut Sinterklaas.
    • Santa Claus muncul pertama kali pada tahun 1920-an sebagai sosok/maskot advertising Coca-Cola. Oleh karena perusahaan minuman soda tersebut tidak mem-paten-kan sosok ini, maka Santa Claus menjadi sangat populer saat perayaan Natal, terutama di kalangan anak-anak karena suka membagi-bagikan hadiah gratis. Sosok ini dipergunakan oleh banyak orang yang ingin mendapatkan kegembiraan Natal tanpa melibatkan Kristus atau kisah mujizat kelahiran-Nya.
    • Kesimpulan: tidak ada yang salah membagikan hadiah pada saat Natal untuk orang-orang yang kita kasihi, selama apa yang kita lakukan tersebut adalah karena Tuhan yang sudah memberkati dan memungkinkan kita untuk membagikan berkat. Rasa ucapan syukur seharusnya dinaikkan kepada Tuhan (dan untuk mereka yang telah memberikan hadiah, khususnya anak-anak kepada orangtua), dan bukan kepada Santa Claus. Perayaan Natal hendaknya menjadi fokus kepada Kristus dan kasih-anugerah-Nya, bukan kepada sosok fiksi. Kita tentu tidak ingin anak-anak dan keluarga kita bersukacita/berfokus pada Santa Claus, tetapi kepada Kristus. Jangan masukkan Santa Claus dalam ibadah perayaan Natal.

VI. Epilogue: Merayakan Natal di tengah Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 telah begitu membatasi adanya pertemuan-pertemuan jemaat dan keluarga dalam jumlah besar. Di beberapa daerah di Indonesia perayaan Natal dalam gereja dapat dilaksanakan dengan implementasi protokol kesehatan, namun di beberapa daerah lainnya belum dapat. Tetapi hal ini kiranya mendorong umat Tuhan untuk kembali berfokus kepada 7 (tujuh) hal yang diungkapkan dalam Lukas 1 dan 2, merayakan Natal dengan kesederhanaan sebagaimana yang Yesus telah tunjukkan dengan lahir di kandang hina dan bukannya dengan pesta berlebihan karena firman Tuhan pun menentang hal itu (Lukas 21:34; Roma 13:13), dan mengingatkan kita untuk terus berbagi dengan orang-orang yang sedang dalam kesusahan sebagaimana Kristus sendiri telah membagi hidup-Nya dengan kita (Yohanes 3:16). Sekalipun perayaan Natal tahun 2020 mungkin tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, tetapi terang Kristus itu tetap ada dalam hidup kita dan mengingatkan bahwa kita tidak menjalani kehidupan ini sendirian tetapi bersama-Nya. Kemeriahan perayaan bukan menjadi kekuatan kita, tetapi merayakan Kristus dan kehadiran-Nya -lah yang menjadi sukacita kita di tengah pandemi ini. Selamat Hari Natal. (CS)

Catatan kaki

Lihat pula