Sikap Teologis GBI terkait sabelianisme modern dan berbagai pemahaman tentang Tritunggal (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 7 September 2020 13.09 oleh Leo (bicara | kontrib) (→‎Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel: fmt)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Sikap Teologis GBI terkait sabelianisme modern dan berbagai pemahaman tentang Tritunggal
03 September 2020

A. Pandangan Keliru yang sedang Mencuat tentang Tritunggal (Sabelianisme Modern)

Seorang pengkhotbah di Indonesia yang cukup viral akhir-akhir ini menyatakan bahwa ia mendapatkan pewahyuan mengenai Tritunggal. Pewahyuan tersebut berisikan pemahaman mengenai Tritunggal bahwa Tritunggal merupakan akibat eisegesis terhadap Alkitab. Ia menyatakan doktrin Tritunggal bisa masuk kategori hoaks karena tidak ada dalam Alkitab; tidak ada dalil dalam Alkitab. Menurutnya, eksistensi Allah itu Roh dan karenanya hanya 1 (satu) Pribadi.

Ia juga menyatakan bahwa rencana penebusan oleh Bapa dan Dia sendiri yang menjadi manusia menanggalkan Keallahan-Nya. Ia menyatakan bahwa pencetus Tritunggal adalah Tertulianus, salah seorang Bapa Gereja. Ia kemudian berargumentasi bahwa baik Tertulianus maupun Athanasius bukanlah murid Kristus.

Ia juga menyatakan bahwa Alkitab menegaskan bahwa di Sorga tidak ada 3 tahta. Karena itu, jika Allah itu 3 Pribadi harusnya di sorga ada 3 tahta. Karenanya, tidak ada Pribadi Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam kekekalan; tidak ada 2 atau 3 atau banyak pribadi Allah tapi hanya ada 1 Pribadi Allah.

Ia mengajarkan bahwa Yesus dalam doktrin Tritunggal berbeda dengan Yesus yang menurutnya ada dalam Alkitab. Istilah Allah Tritunggal tidak ada dalam Alkitab. Allah Anak, Allah Roh Kudus. Bukan hanya istilahnya yang tak ada di Alkitab, namun juga konsep yang dibangun dalam Tritunggal itu tidak alkitabiah.

Para pengikut trinitarian yang memprovokasi umat beragama lain bahwa agama Kristen percaya 3 Allah. Tritunggal itu bukan ajaran Alkitab tapi ajaran teolog. Menurutnya, dalam 1 Timotius 3:16 - “Dia” dalam teks tersebut adalah Allah, bukan anak Allah yang menyatakan diriNya dalam rupa manusia. Di dalam keberadaan-Nya sebagai manusia (Allah), Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai Anak Allah, bukan Allah Anak.

Para pengikut trinitarian selalu berkata bahwa doktrin Allah Tritunggal, Teologi Allah Tritunggal, itu fondasi iman Kristen. Baginya, fondasi iman Kristen itu Alkitab. Bukan doktrin keallahan. Teologi manapun termasuk teologi Tritunggal harus diuji berdasarkan Alkitab. Menurutnya, berdasarkan 1 Yohanes 5:7 Tritunggal sudah tidak relevan lagi untuk menjadi dasar apologet yang menerangkan keimanan Kristen. Ini dasar teologi yang cukup kuno, usang, apalagi konsep ini dulu dibangun untuk menghadapi filsuf Yunani. Di abad 20 ini sudah tidak relevan lagi. Menurut LAI terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari hanya tertulis “ada tiga saksi”. Tak ada kalimat selanjutnya di dalam kurung (Bapa, Firman dan RK, dan ketiganya dalah satu). Tiga saksi itu Roh Allah, air, dan darah. (ayat 8). Tiga di sini bukan 3 pribadi Allah.

Namun ia kemudian menolak disamakan dengan Sabelian, Armenian atau Jesus Only. Dia menolak disebut bidat. Ia menyatakan dirinya adalah penganut oneness yang biblical. Namun baginya, Yohanes 14:6 menegaskan bahwa jika sudah melihat Yesus, artinya sudah melihat Bapa. Maka dengan demikian Yesus memang Allah, Yesus memang Bapa. Baginya, hakekat Pencipta itu 2 bukan tiga; sebagai Roh dan sebagai Pribadi. Dalam Alkitab ada Anak Allah, Roh Kudus Allah dan itu bukan bicara Triteisme.

Kemudian menurutnya, Matius 28 sebenarnya bunyinya tidak seperti itu dalam bahasa aslinya: ”Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Aslinya: “Baptislah mereka dalam nama-Ku.” Baginya, makna Yesaya 9:6 adalah Dia anak tapi juga Bapa. Anak Allah yang dinubuatkan ini adalah Bapa sendiri. Waktu Ia jadi manusia, Ia disebut Anak Allah. Dari mana nama Yesus? Dari Bapa-Nya. Nama Bapa adalah Yesus (Yoh 17:6, 11, 12: nama-Mu yang telah Kau berikan kepada-Ku). Kisah Para Rasul 2:38; 10:48; 19:3-5 menceritakan bahwa rasul-rasul membaptis dalam nama Yesus dan bukan Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Menurutnya, Alkitab menyatakan namanya Tuhan: Yesus, namanya Allah: Yesus, Nama Bapa: Yesus, nama Anak: Yesus, nama Roh Kudus: Yesus. Baginya, Yohanes 8:21, 24 dipahami sebagai menegaskan bahwa Yesus berkata Akulah Dia, Akulah Bapa, Akulah Roh Kudus, Akulah Sang Mesias.[1]

B. Pandangan GBI tentang Tritunggal

Sebelum membahas pandangan teologis GBI tentang Tritunggal, maka perlu dijelaskan seluruh latar belakangnya secara singkat.

1. Etimologi

Kata “Tritunggal” (Bahasa Indonesia) atau Trinity (Bahasa Inggris) berasal dari Bahasa Latin “Trinitas”, yang mengandung arti the number three, a triad, tri. Kata Trinitas merupakan gabungan dari kata sifat trinus (three each, threefold, triple) dan unitas (dari “unus,” one).

Wayne Grudem mencatat definisi Trinitas: God eternally exists as three persons, Father, Son, and Holy Spirit, and each person is fully God, and there is one God. Definisi itu sendiri dapat diuraikan menjadi tiga pernyataan sebagai berikut: 1) God is three persons; 2) Each person is fully God; serta 3) There is one God.[2]

Pernyataan pertama mengandung arti bahwa Bapa bukanlah Anak; Anak bukanlah Roh Kudus; Roh Kudus bukanlah Bapa—Mereka adalah tiga Pribadi yang berbeda-beda. Pernyataan kedua berarti bahwa walaupun Bapa, Anak, dan Roh Kudus ialah tiga Pribadi yang berbeda, namun masing-masing Pribadi ialah Allah sepenuhnya—Bapa ialah Allah sepenuhnya; Anak ialah Allah sepenuhnya; Roh Kudus ialah Allah sepenuhnya. Sedangkan pernyataan ketiga berarti bahwa walaupun terdiri dari tiga Pribadi, namun hanya ada satu Allah. Tiga Pribadi itu bukan hanya satu dalam tujuan dan pemikiran Mereka, tetapi juga satu dalam esensi, dalam hakikat Mereka.

2. Pengakuan Iman/Kredo

Secara umum, Gereja-gereja Barat (Katolik Roma, Anglikan dan Protestan – Lutheran dan Kalvinisme/Reformed, Methodis, dll.) memiliki pengakuan iman bersama yang disebut sebagai Pengakuan Iman Rasuli (PIR) atau Apostles’ Creed.[3] Sebaliknya, Gereja-gereja Timur (Ortodoks Yunani, Syria, Rusia, dll.) menerima Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel (PINK).[4] PINK juga diterima oleh Gereja-gereja Barat sehingga PINK merupakan kredo yang paling ekumenis, yang diterima oleh umumnya Gereja di seluruh dunia.

Pengakuan Iman Rasuli

Aku percaya kepada Allah, Bapa yang mahakuasa, Khalik langit dan bumi.

Dan kepada Yesus Kristus, AnakNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anakdara Maria, yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati, naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah,

Bapa yang mahakuasa, dan akan datang dari sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.

Aku percaya kepada Roh Kudus gereja yang kudus dan am; persekutuan orang kudus; pengampunan dosa; kebangkitan daging; dan hidup yang kekal. Amin

Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel

Aku percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, segala kelihatan dan yang tak kelihatan.

Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah Yang Tunggal, lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman. Allah dari Allah, Terang dari Terang. Allah Yang Sejati dari Allah Yang Sejati, diperanakkan, bukan dibuat; sehakekat dengan Sang Bapa, yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu dibuat; yang telah turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita; dan menjadi daging oleh Roh Kudus dari anak dara Maria; dan menjadi manusia; yang disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus; menderita dan dikuburkan; yang bangkit pada hari ketiga, sesuai dengan isi kitab-kitab, dan naik ke sorga; yang duduk di sebelah kanan Sang Bapa dan akan datang kembali dengan kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaan-Nya takkan berakhir.

Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan Yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak, yang bersama-sama dengan Sang Bapa dan Sang Anak disembah dan dimuliakan; yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi.

Aku percaya satu gereja yang kudus dan am dan rasuli. Aku mengaku satu baptisan untuk pengampunan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati dan kehidupan pada zaman yang akan datang. Amin.

3. Pengakuan Iman Rasuli (PIR)

Istilah Pengakuan Iman Rasuli pertama kali muncul dalam sebuah surat, yang konon ditulis oleh salah seorang Bapa Gereja, Ambrosius dari Milan kepada Paus pada tahun 390 M. Bapa-bapa Gereja memahami bahwa ajaran-ajaran trinitarian yang menjadi struktur PIR ini berasal dari para rasul. Karenanya disebut rasuli. Namun menjadi baku baru pada abad ke-6 hingga 7.

Namun kini banyak yang menduga bahwa PIR merupakan pengembangan dari Pengakuan Iman Kuno Roma.[5] Penelitian menunjukkan bahwa model pengakuan iman ini sudah beredar setidaknya sejak abad kedua-ketiga masehi dalam beragam versi dengan inti atau pokok ajaran tritunggal dengan urutan yang sama, Bapa, Anak dan Roh.[6]

Diyakini bahwa pada awalnya, pokok-pokok dalam PIR merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada katekumen-katekumen (calon-calon baptisan) (seperti: apakah Anda percaya bahwa Allah adalah Tritunggal? Apakah Anda percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah, pribadi kedua Tritunggal? dll.).[7]

PIR digunakan oleh Gereja-gereja Barat, yaitu Gereja-gereja yang dahulu kala berada di dalam Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di kota Roma, a.l. Gereja Katolik Roma, Gereja Anglikan dan Gereja-gereja Protestan.

4. Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel (PINK)

Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel atau Kredo Nicea-Konstantinopel merupakan hasil dari dua sidang atau konsili ekumenis yang berlangsung di Nicea pada tahun 325M dan Konstantinopel pada tahun 381M.

Dalam konsili yang pertama (325M), hal utama yang dibahas adalah ajaran Arius, seorang imam paroki di Baukalis di Aleksandria, Mesir. Arius mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Allah, tetapi adalah makhluk ciptaan-Nya. Menurut Arius, ada saat di mana Logos (Sabda Allah, maksudnya Yesus) tidak ada. Konsili Nicea I menolak ajaran Arius dan menganggapnya menyeleweng dari ajaran Gereja yang benar. Para Bapa Gereja yang hadir dalam konsili tersebut menegaskan ajaran Gereja bahwa Yesus (yang juga dipahami sebagai Anak Allah sekaligus Firman Allah, merujuk kepada Yoh. 1:1-3) adalah sehakikat dengan Allah Bapa.

Dalam Konsili Konstantinopel I (381) hal utama yang dibahas adalah ajaran Makedonius I, Uskup Konstantinopel pada saat itu. Makedonius mengajarkan bahwa Roh Kudus bukanlah Allah, tetapi adalah makhluk ciptaan dan adalah pelayan Bapa dan Putera.

Konsili Konstantinopel I menolak ajaran Makedonius dan menegaskan bahwa Roh Kudus adalah Tuhan dan Allah yang setara dengan Bapa dan Putera. Dalam Konsili Konstantinopel I tersebut, Pengakuan Iman Nicea kembali diteguhkan dan diperluas pada bagian yang menerangkan Roh Kudus dan karya-Nya.

Dari kedua sidang atau konsili tersebut, maka diformulasikan pengakuan iman Nicea-Konstantinopel sebagai kesepakatan apa yang diyakini oleh Gereja-gereja secara bersama. Dengan kata lain, pengakuan iman baik PIR maupun PINK muncul sebagai tanggapan terhadap ajaranajaran yang dianggap menyimpang tentang Allah Tritunggal.

PINK digunakan dan diterima secara ekumenis oleh Gereja-Gereja Timur, yaitu gereja-gereja yang dahulu kala berada di dalam Kekaisaran Romawi Timur berpusat di Konstantinopel dan oleh Gereja-Gereja Barat. Karenanya, PINK dipahami sebagai pengakuan iman yang paling ekumenis. Apa yang dinyatakan dalam PIR dan PINK merupakan sebuah ringkasan doktrin Tritunggal yang telah diterima dalam tujuh konsili-konsili gerejawi ekumenis pertama yang menjadi doktrin Kristen yang universal dan ekumenis yang mendefinisikan inti doktrin Kristen.

5. Pengakuan Iman GBI

Dalam pengakuan imannya, yang mewarisi Pengakuan Iman Gerakan Pentakostal[8] yang berakar pada Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, sesuai dengan ajaran alkitabiah dan rasuli warisan dari Bapa-bapa Gereja, GBI menyatakan bahwa: “Allah yang Maha Esa itulah Allah Tritunggal yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus, tiga pribadi di dalam satu” (pokok kedua).[9]

6. Pengaruh Pembentukan Teologi Tritunggal

Doktrin Tritunggal menyatakan bahwa Allah ada dalam tiga pribadi. Doktrin ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam Alkitab. Namun itu merupakan kesimpulan mutlak dari klaim-klaim alkitabiah yang ada dan dirumuskan sebagai doktrin resmi dalam berbagai kredo dan pengakuan Kristen.[10] Karakterisasi terbatas yang kita miliki adalah ini: Di dalam Allah, ada tiga pribadi yang benar-benar berbeda, Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Pribadi-pribadi ini tidak boleh dipandang sebagai manifestasi belaka atau aspek dari satu substansi; sebaliknya, masing-masing adalah substansi, dan selaras dengan Bapa.[11] Ini kemudian disebut konsubstansial. Mengatakan bahwa ketiga pribadi itu konsubstansial menegaskan bahwa mereka memiliki sifat yang sama. Maka itu berarti ketiga pribadi itu sama-sama ilahi: tidak ada yang lebih unggul atau lebih ilahi daripada yang lain. Jadi, Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga pribadi ilahi yang berbeda. Namun, seperti muncul dalam Pengakuan Iman Athanasian, mereka bukan tiga allah, tetapi adalah satu Allah.

Mengingat semua ini, doktrin trinitas dapat bermanfaat dilihat sebagai gabungan dari tiga tesis, bersama dengan beberapa kendala. Tesis ini adalah T1 – T3:

(T1) Hanya ada satu Tuhan.
(T2) Bapa, Anak, dan Roh Kudus tidak identik satu sama lain.
(T3) Bapa, Anak, dan Roh Kudus bersifat konsisten.

Allah Tritunggal adalah doktrin hakiki bagi gereja. Ini membedakan ortodoksi (yang percaya) dan yang tidak. Kendala (primer) adalah bahwa T1-T3 harus ditafsirkan sedemikian rupa untuk menghindari tiga kesalahan berikut, atau ajaran sesat: modalisme (pandangan bahwa orang-orang hanyalah manifestasi atau aspek dari sesuatu), subordinasionisme (pandangan bahwa keilahian satu atau lebih adalah lebih rendah dari yang lain) yang hadir dalam pemikiran Arianisme, dan politeisme (pandangan bahwa tidak demikian adanya hanya ada satu tuhan). Ini adalah jantung dari doktrin trinitas.[12]

Mereka yang anti trinitarianisme biasanya menyatakan bahwa gagasan Allah tritunggal merupakan pengaruh dari agama-agama lain yang sangat banyak menggagas trinitarianisme, seperti Mesir Kuno, Eropa kuno dan Asia kuno. Ini termasuk keilahian trinitatis seperti Bapa, Ibu, dan Anak (Zeus, Hera, dan anak-anak dewa seperti Ares). Namun, bagaimanapun model yang ada dalam agama-agama kuno, kemiripan tidak berarti bahwa kekristenan menjiplak gagasan-gagasan dari agama-agama kuno. Dua hal yang serupa tidak serta-merta membuktikan juga sebuah pengaruh satu atas yang lain, karena keduanya dapat hadir secara independen. Pemahaman keliru ini disebut cum hoc ergo propter hoc, bahasa Latin untuk "dengan ada ini, maka ada ini".

7. Ketigaan dalam Kesatuan Allah

Allah satu di dalam esensi atau hakekat sekaligus substansi. Ulangan 6:4 menegaskan keesaan Allah itu, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Ini berarti bahwa esensi Allah tidak terbagi.

Allah adalah tiga terkait dengan pribadi. Allah yang esa dengan tiga pribadi ilahi (three divine persons atau three divine beings). Istilah pribadi menolong dalam menekankan sebagai suatu individu. Ketiga pribadi memiliki esensi yang sama sebagai Allah. Dan ketiga pribadi memiliki kepenuhan sebagai Allah. Ketiga pribadi memiliki relasi yang berbeda. Istilahnya adalah subsistensi. Bapa tidak dilahirkan. Anak berasal dari Bapa sementara Roh Kudus secara kekal berasal dari Bapa dan Anak.

Dalam formulasi Bapa-bapa gereja, maka relasi ketiganya didefinisikan sbb.:

  1. Tritunggal tidak terpisahkan
  2. Tidak terbagi, namun
  3. Tidak bercampur
  4. Tidak melebur

C. GBI Mempercayai Tritunggal sebagai Doktrin yang Alkitabiah

1. Allah Tritunggal dalam Perjanjian Lama

a. Kisah Penciptaan

Dalam kisah penciptaan, maka Kej. 1:1-3 menegaskan:

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi.

Dalam tiga ayat pertama Alkitab (TB LAI), sudah ditegaskan bahwa ada Allah dan bahwa ada Roh Allah. Ini menegaskan bahwa Roh Allah juga adalah Allah. Keduanya adalah satu kesatuan. Eksistensi Allah dan Roh Allah dikisahkan sebelum alam semesta tercipta. Ini terlihat dari frasa “pada mulanya Allah menciptakan”, Ibr.: resyit bara eb (translit.:[13] בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים Elohim) yang menunjukkan bahwa Allah ada sebelum penciptaan, sebelum alam semesta terbentuk. Dengan kata lain, ini menunjukkan eksistensi kekal Allah.

Ketika dikatakan “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”, Ibr. מְרַחֶפֶת עַל־פְּנֵי תְהֹום וְרוּחַ אֱלֹהִים (translit. weruakh Elohim merakhefet al-pene hammayim), maka Ruakh Elohim ini bereksistensi bersama dengan Allah sejak kekekalan. Kata “Melayang-layang” merupakan terjemahan dari merakhefet, yang berarti: “an eagle fluttering over its young and so might have a connotation of parturition or nurture as well as rapid back-and-forth movement”.[14]

b. Penampakan kepada Abraham

Dalam kisah Abraham dekat pohon Tarbantin, di daerah Mamre dekat Hebron, di mana tampaknya menjadi tempat kesukaan Abraham untuk mempersembahkan mezbah korban bakaran kepada Allah (bdk. Kej. 13:18), Abraham dikunjungi oleh tiga orang (Kej. 18:1 dst). Orang (bentuk plural ini) adalah isyim (אנשים) yang merujuk kepada manusia biasa (ay. 2).

Dalam Kejadian 18:10 percakapan berubah bukan lagi mengindentifikasi 3 orang tersebut sebagai orang, tetapi salah satu dari ketiga orang itu diidentifikasi sebagai TUHAN (atau Yahweh) dan terjadilah percakapan dengan Abraham.

Dua dari tiga orang tersebut kemudian berangkat ke Sodom dan Gomora dan Kej. 19:1 menyatakan bahwa dua orang itu tidak lagi diidentifikasi sebagai orang atau manusia melainkan sebagai dua malaikat (Ibr. שְׁנֵ֨י הַמַּלְאָכִ֤ים, translit. syene malakhim hammal’akhim). Dengan kata lain, tiga orang yang menjumpai Abraham tersebut adalah dua sosok malaikat dan Tuhan. Dalam perspektif biblis kristiani, Tuhan yang menampakkan diri kepada Abraham ini adalah Allah Tritunggal yaitu Anak Allah yang belum menjadi manusia. Dalam bahasa teologi seringkali disebut Theofani.

c. Penglihatan Daniel

Dalam penglihatan Daniel, Daniel melihat ada dua sosok, yaitu “Yang Lanjut Usianya” dengan “Anak Manusia” di surga:

Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya (Dan. 7:13).

Ada dua sosok dalam narasi Daniel di atas, yaitu “anak manusia” dan “Yang Lanjut Usianya”. Anak manusia merupakan terjemahan dari Ibr. כְּבַ֥ר אֱנָ֖שׁ (translit: kebar enash) dan Yun. υἱὸς ἀνθρώπου (translit. huios anthropou)[15] dengan arti yang sama, yaitu anak manusia. Penafsir Yahudi menafsir bahwa ini merupakan gambaran orang-orang Israel secara kolektif, yang tampaknya tidak mungkin demikian. Seorang penafsir menjelaskan bahwa anak manusia di sini lebih tepat ditafsir sebagai Malaikat Mikhael.[16]

Yang Lanjut Usianya merupakan terjemahan dari Ibr. עַתִּ֤יק יֽוֹמַיָּא֙ (translit. attiq yomayya) dan Yun. (LXX, Septuaginta) παλαιὸς ἡμερῶν (translit. palaios hemeron) yang secara harfiah berarti ‘kuno dari hari-hari’ atau ‘kuno dari zaman’, yang merujuk kepada Allah. Dipahami sebagai: “the one who makes days old”.[17]

Konteks penglihatan Daniel bukanlah di bumi atau di dunia, tetapi di “awan-awan dari langit” (Ibr. עֲנָנֵ֣י שְׁמַיָּ֔א translit. 'anane syamayya; Yun. τῶν νεφελῶν τοῦ οὐρανοῦ, ton nefelon tou ouranou), di mana ‘langit’ dapat juga diterjemahkan surga (Ing.: clouds of heaven, MKJV/ASV). Dengan menaiki “awan-awan dari langit”, anak manusia menghadap Yang Lanjut Usianya, yaitu Allah. Karenanya, anak manusia dalam penglihatan ini tidak mungkin manusia biasa, tetapi sosok ilahi.

Penafsiran sosok anak manusia sebagai Mikhael menjadi wajar bila seseorang tidak meyakini Tritunggal.[18] Tetapi dalam penafsiran biblis kristiani, Yesus sendiri merujuk diri-Nya dengan istilah Anak Manusia (Contoh: Mat. 8:20; 9:6; 10:23; 11:19; 12:8, 32, 40; 13:37, 41; 16:13, 27, 28; 17:9, 12, 22; 18:11; dst.). Dengan kata lain, keduanya merupakan gambaran mengenai Bapa dan Anak Allah.

2. Allah Tritunggal dalam Perjanjian Baru

a. Dalam Injil-injil Kanonik

Sebagian orang menegaskan bahwa trinitarianisme merupakan ciptaan Bapa-bapa Gereja (yaitu Konsili Milan, Nicea, dan Konstantinopel). Namun sesungguhnya, dalam Perjanjian Baru terdapat banyak kemunculan trinitarianisme. Kesatuan atau keesaan Allah Tritunggal di sana-sini hadir dalam Perjanjian Baru, walaupun istilah Tritunggal tidak ada. Istilah ‘tritunggal’ adalah upaya menjelaskan kehadiran Allah yang esa sekaligus tiga dalam Perjanjian Baru yang diputuskan oleh Bapa-bapa Gereja dalam konsili-konsili yang menghasilkan PIR dan PINK.

Yesus sendiri menyatakan bahwa Ia dan Bapa adalah satu (Yoh. 10:30). Dalam teks Yunani dituliskan sebagai berikut.: ἐγὼ καὶ ὁ πατὴρ ἕν ἐσμεν (Ego kai ho pater hen semen), yang bila diterjemahkan harfiah adalah sebagai berikut: Aku dan Sang Bapa satu adalah. Kata kerja ἐσμεν (adalah) merupakan bentuk jamak, yang menunjuk kepada Aku (Anak, Yesus) dan Bapa adalah benar-benar dua yang berbeda. Penggunaan kata ἕν (satu) dengan demikian menunjukkan keesaan Allah, dalam hal ini, Bapa dan Anak adalah satu kesatuan atau esa. Jadi kesimpulan sederhana dari teks itu, Bapa dan Anak adalah dua pribadi berbeda namun juga adalah Allah yang esa.

Dalam PB, sejak baptisan Yesus, presensi Allah tritunggal sangat jelas. Dalam versi

Markus, digunakan hanya istilah Roh, sementara dalam Matius Roh Allah dan dalam Lukas Roh Kudus. Masing-masing memberi makna, yaitu Roh menunjukkan independensinya, Roh Allah menunjukkan bahwa Ia berasal dari Allah, dan Roh Kudus menunjukkan bagian dari Allah Tritunggal karena Roh Kudus adalah istilah yang baku dalam konsep tritunggal, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Dalam ketiga versi baptisan Yesus, maka saat Yesus dibaptis, Roh Kudus turun menguasai Yesus dan ada suara dari langit (ouranos, alias surga, yang merupakan parafrase dari Allah) atau dengan kata lain, Allah (Bapa) berbicara. Dalam kejadian ini, hadir Allah Tritunggal yaitu Yesus, Roh Kudus, dan Bapa.

Dalam doa Tuhan Yesus di Injil Yohanes, Ia berkata bahwa Ia akan meminta kepada Bapa untuk mengirimkan seorang Penolong yang lain, yaitu Roh Penolong dan Roh Penghibur (Parakletos) (Yoh. 14:16, 26). Hadir dalam teks ini Allah Tritunggal, yaitu Yesus, Bapa, dan Roh Kudus.

Dalam Doa Bapa Kami yang Tuhan Yesus ajarkan, Ia mengajarkan kita untuk berdoa kepada Allah yang Yesus sendiri sebut sebagai Bapa (Mt. 6:9). Ia sendiri berdoa kepada Bapa, seperti di Taman Getsemani (Mt. 26:36-46; Mk.14:32-35; Lk. 22:39-46). Dalam relasi dengan Allah, Yesus selalu menyebut Allah sebagai Bapa dan diri-Nya sebagai Anak. Sebaliknya, Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Bapa. Karenanya, menyebut Yesus sama dengan Bapa adalah bertentangan dengan Alkitab dan ajaran Yesus sendiri.

Formula Baptisan dalam Injil Matius, dibaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus (Mt. 28:9) menegaskan Allah Tritunggal. Dalam Amanat Agung yang Tuhan Yesus sampaikan, teks asli tidak berbunyi “baptislah mereka dalam nama-Ku” seperti yang dinyatakan di atas. Teks asli bahasa Yunani berbunyi: βαπτίζοντες αὐτοὺς εἰς τὸ ὄνομα τοῦ Πατρὸς καὶ τοῦ Υἱοῦ καὶ τοῦ ῾Αγίου Πνεύματος” (Mat. 28:19. Baptizontes autous eis to onoma tou Patros kau tou Huio kai tou Hagiou Pneumatos) yang secara harfiah berarti: membaptis mereka ke dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Tuhan Yesus sendiri dengan memberikan perintah untuk membaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, sehingga apa yang disampaikan di atas oleh Sabelianisme modern tersebut jelas keliru.

b. Para Rasul dalam Alkitab

Ketika Stefanus mengalami aniaya akibat khotbahnya, maka kisah Stefanus menghadirkan Allah yang trinitatis tersebut. Dalam Kis. 7:55 dikatakan bahwa Stefanus penuh Roh Kudus dan ia melihat Yesus berada di sebelah Allah (Bapa). Dalam kisah ini hadir Allah Tritunggal, yaitu Roh Kudus, Yesus, dan Bapa.

Dalam khotbah Petrus terkait dengan Baptisan Kornelius, aspek trinitarian Allah juga muncul. Petrus menyatakan: “yaitu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia” (Kis. 10:38).

Dalam pidato perpisahan Paulus dengan tua-tua jemaat di Efesus, Paulus dengan tegas menyatakan aspek trinitarianisme Allah ketika ia berkata: “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis. 20:28). Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menuliskan: “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!” (Gal. 4:6; bdk. Rm. 8:15) di mana aspek trinitarian Allah tampak dengan jelas.

Dalam salam pembukaan suratnya kepada jemaat Roma, Paulus juga menyatakan aspek trinitarian Allah: “dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm. 1:4). Di bagian tengah suratnya, Paulus menegaskan kembali aspek trinitarian tersebut dalam 8:9: “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus”. Di sini aspek trinitarian Allah tampak dengan jelas.

Dalam bagian akhir surat tersebut, Paulus kembali menyinggung aspek trinitarian Allah: “yaitu bahwa aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus.” (Rm. 15:6). Di sini aspek trinitarian Allah juga tampak dengan jelas.

Dalam ucapan berkat kepada jemaat Korintus yang menerima surat keduanya, Paulus kembali menyebut aspek tritunggal: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor. 13:13).

Demikian juga dalam ucapan syukur kepada Allah dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menegaskan aspek trinitarian tersebut: “dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar” (Ef. 1:17).

Rasul Petrus dalam suratnya yang pertama juga menegaskan aspek trinitarian Allah: “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu” (1 Pet. 1:2). Demikian juga Petrus dalam 1 Pet. 3:8 menyatakan: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh”.

Selain itu, Rasul Yohanes juga mengakui aspek trinitarianisme Allah dalam 1 Yoh. 4:2, 3. Selain itu, dalam 1 Yoh. 5:7 dikatakan: “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu”. Walaupun ada yang berkata bahwa ini adalah tambahan kemudian, ia tidak mengurangi pemahaman bahwa teks ini berbicara tentang trinitarianisme Allah.

Perjanjian Baru cukup sering menyebut presensi ketigaan dari Allah yang esa ini dengan menyebutkan ketiga pribadi tersebut. Teks-teks Perjanjian Baru yang menyebutkan tritunggal a.l. Mt. 28:19 dalam Amanat Agung: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” dengan urutan: Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Selain itu, Paulus menuliskan berkat bagi jemaat Korintus dalam 2 Kor. 13:13: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” di mana urutannya adalah Tuhan Yesus, Bapa, dan Roh Kudus.

c. Bapa, Pribadi Pertama Allah yang Esa

Dari penjabaran di atas, Yesus menyebut Allah sebagai Bapa sebagai sosok yang berbeda dengan diri-Nya dan Roh Kudus. Hal ini terlihat dengan jelas dalam Baptisan Yesus, Ketika Roh Kudus turun atas Yesus dan langit terbuka. Matius 3:17 menyatakan ada suara dari sorga. Sorga yang merupakan terjemahan dari οὐρανός (ouranos) adalah parafrase yudaistik untuk menunjuk secara tidak langsung kepada Allah, karena dalam Perjanjian Lama, sorga adalah tempat kediaman Allah (contoh: Ul. 26:15; 1 Raj. 8:30, 39, 43, 49; 2 Taw. 6:30, 33, 39; 30:27; Mzm. 2:4; 11:4) dan dari sorga Allah mengamati umat-Nya (Mzm. 14:2; 33:13; 53:3), dan Allah bahkan berbicara atau menjawab dari sorga (Mzm. 20:7). Dalam baptisan Yesus, Allah berkata: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mt. 3:17) dan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa Allah yang berbicara, berkata atau menjawab dari sorga adalah Bapa.

Hal ini dipertegas dengan Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus, yaitu menyebut Allah di sorga sebagai Bapa dalam ucapan pembukaan doa tersebut: “Bapa Kami yang ada di sorga” (Mat. 6:9).

Dalam banyak bagian, Yesus menyebut Allah sebagai “Bapa-Ku” (contoh: Mat. 7:21; 10:32, 33). Selain itu, dalam Matius 11:25-28 Yesus bahkan berdoa kepada Bapa. Ini menunjukkan adanya dua pribadi yang berbeda, yaitu Yesus dan Bapa. Yesus tidak sama dengan Bapa dan Yesus bukanlah Bapa. Keduanya adalah pribadi yang berbeda.

Matius 16:27 berbicara mengenai kedatangan kembali Anak Manusia, yaitu Yesus Kristus, dalam kemuliaan Bapa-Nya yang menunjukkan dua pribadi berbeda namun dalam satu kesatuan.

Dalam Yohanes 17:1-26 di mana Yesus berdoa kepada Bapa, Yesus menyebut Allah sebagai Bapa, di mana Ia menyatakan Bapa sebagai “satu-satunya Allah yang benar” (ay. 3).

Karenanya, Bapa adalah pribadi pertama, yang berbeda dengan Anak dan Roh Kudus dalam kesatuan Allah Tritunggal.

d. Yesus Kristus, Anak Allah dan Pribadi kedua Allah yang Esa

Beberapa teks Alkitab cukup jelas menekankan keilahian Yesus. Ketika berbicara mengenai Allah, maka salah satu pokok pentingnya adalah karakter-karakter Allah. Keempat injil menyempatkan karakter-karakter Allah kepada Yesus, di antaranya mengampuni dosa. Mk. 2:1-12 menegaskan karakter ini juga dimiliki oleh Yesus Kristus.

Yohanes 1:1-3 menegaskan siapa Yesus, yaitu Logos yang bersama dengan Allah yang juga adalah Allah. Logos ini kemudian menjadi manusia (ay. 14).

Filipi 2:6-8 menegaskan siapa Yesus, yaitu serupa (ἐν μορφῇ Θεοῦ) dan setara (ἴσα Θεῷ) dengan Allah. Serupa berarti juga satu wujud, esensi atau hakikat. Setara berarti juga setingkat atau sederajat. Artinya, Yesus tidak tersublimasi atau tersubordinasi atau di bawah Bapa menurut Filipi.

Kolose 1:15-20 juga menegaskan keilahian Yesus Kristus. Teks ini begitu lengkap berbicara mengenai Yesus: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.

Karenanya, Yesus adalah pribadi kedua, yang berbeda dengan Bapa dan Roh Kudus dalam kesatuan Allah Tritunggal.

e. Roh Kudus Pribadi Ketiga Allah yang Esa

Roh (atau Roh Allah) sendiri muncul sebanyak 70 kali dalam PL. Dan Roh digambarkan independen (Kej. 1:2), Ia juga digambarkan sebagai diutus oleh Allah (Kel. 30:3; 35:31; Bil. 11:29). Ayub 33:4 menegaskan bahwa Roh Allah menciptakan manusia.

Roh Kudus adalah pribadi ketiga, yang juga keluar dari Bapa sekaligus dari Anak. Artinya, Roh Kudus adalah Roh dari Allah sekaligus Roh dari Anak. Alkitab menyaksikan bahwa ada Roh Yesus dalam Kis. 16:7: “Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka” dan juga dalam Flp. 1:19: “karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus”. Roh Kudus adalah Roh yang keluar dari Bapa, sekaligus dari Yesus.

Selain istilah Roh Yesus dan Roh Yesus Kristus, Perjanjian Baru juga menggunakan istilah Roh Kristus dalam Rm. 8:9: “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus.” 1 Pet. 1:11: “Dan mereka meneliti saat yang mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus, yang ada di dalam mereka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi kesaksian tentang segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu”.

Berikutnya, Gal. 4:6 menyebutkan: “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!". Roh Anak-Nya yang dimaksud jelas adalah Roh Yesus Kristus.

Sebaliknya, penyebutan bergantian antara Roh Allah dan Roh Kristus dalam Rm. 8:9 menunjukkan bahwa Roh Allah dan Roh Kristus adalah satu. Itu berarti Roh Allah atau Roh Kudus sama dengan Roh Kristus.

Kis. 5:3-4 memberikan penekanan yang besar pada Roh Kudus sebagai pribadi. Mzm. 33:6 menunjukkan juga bahwa Roh Kudus adalah pencipta bersama. Yoh. 14:16 tentang Penghibur atau Penolong (parakletos) juga menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi.

f . Keilahian Roh Kudus

Keilahian Roh Kudus tidak dapat dipisahkan dari doktrin Trinitas. Penyangkalan akan salah satu adalah penyangkalan akan yang lainnya, dan juga akan keseluruhan doktrinnya. Namun perdebatan tentang keilahian-Nya telah terjadi sejak sangat lama.

Bahkan pada awalnya, gereja pada zaman bapa-bapa gereja enggan menyentuh topik ini. Pengakuan iman Nicea (325) hanya menulis “aku percaya… dan kepada Roh Kudus” tanpa tambahan apa pun. Pengakuan Nicea-Konstantinopel (381) menuliskan “aku percaya… dan kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang menghidupkan; yang keluar dari Sang Bapa; yang disembah dan dimuliakan bersama-sama dengan Sang Bapa dan Sang Anak…”

Di dalam Konsili Chalcedon (451), Pengakuan Nicea-Konstantinopel makin berpengaruh. Di dalam Sinode Toledo (Spanyol) perumusan Nicea-Konstantinopel “qui ex Patre procedit” (keluar dari Sang Bapa) diperluas menjadi “qui ex Patre Filioque procedit” (Keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak).

Di dalam perumusan Athanasiam (dinamai berdasarkan nama Athanasius karena sesuai dengan ajaran Athanasius) pada abad keenam hingga kedelapan dirumuskan demikian tentang Roh Kudus: “…sebagaimana juga Bapa, begitu juga Anak, begitu juga Roh Kudus… Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, Roh Kudus adalah Allah… namun itu bukanlah tiga ilah melainkan satu Allah; Bapa adalah Tuhan, Anak adalah Tuhan, Roh Kudus adalah Tuhan, namun itu bukanlah tiga tuhan, melainkan satu Tuhan…” Ini menegaskan bahwa Roh Kudus sehakekat dengan Allah Bapa dan Allah Anak (homousios).

Roh Kudus adalah pribadi ketiga, yang juga keluar dari Bapa sekaligus dari Anak. Artinya, Roh Kudus adalah Roh dari Allah sekaligus Roh dari Anak. Alkitab menyaksikan bahwa ada Roh Yesus dalam Kisah para Rasul 16:7: “Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka” dan juga dalam Filipi. 1:19: “karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus”. Roh Kudus adalah Roh yang keluar dari Bapa, sekaligus dari Yesus.

Selain istilah Roh Yesus dan Roh Yesus Kristus, Perjanjian Baru juga menggunakan istilah Roh Kristus dalam Roma 8:9: “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus.” 1 Petrus 1:11: “Dan mereka meneliti saat yang mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus, yang ada di dalam mereka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi kesaksian tentang segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu”.

Berikutnya, Galatia 4:6 menyebutkan: “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!". Roh Anak-Nya yang dimaksud jelas adalah Roh Yesus Kristus.

Sebaliknya, penyebutan bergantian antara Roh Allah dan Roh Kristus dalam Roma 8:9 menunjukkan bahwa Roh Allah dan Roh Kristus adalah satu. Itu berarti Roh Allah atau Roh Kudus sama dengan Roh Kristus.

Kisah para Rasul 5:3-4 memberikan penekanan yang besar pada Roh Kudus sebagai pribadi. Mazmur 33:6 menunjukkan juga bahwa Roh Kudus adalah pencipta bersama. Yohanes 14:16 tentang Penghibur atau Penolong (parakletos) juga menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi.

Karenanya, Roh Kudus adalah pribadi ketiga, yang berbeda dengan Bapa dan Anak dalam kesatuan Allah Tritunggal.

D. Kesimpulan Penutup

1. Kekeliruan dalam Pemahaman Tritunggal

Allah adalah sosok yang (satu-satunya) tidak berubah. Dengan demikian. Tritunggal adalah hakekat Allah yang bersifat permanen dari kekal hingga kekal. Sebab, jika trinitarianisme Allah berawal, pada suatu titik waktu tertentu, maka Allah dengan demikian berubah. Jika Allah berubah, maka Ia bukan Allah dan dalil tersebut menjadi gagal. Selain itu, Allah yang monoteistik sekaligus trinitarian mensyaratkan keadaan yang tidak berjenjang. Sebab jika Allah berjenjang, maka ia bersifat politeistik. Ini jelas jadi keliru.

Allah Tritunggal adalah doktrin hakiki bagi gereja. Ini membedakan ortodoksi (yang percaya) dan yang tidak. Penafsiran terhadap Alkitab harus dilakukan sedemikian rupa secara teliti, kritis dan objektif untuk menghindari tiga kesalahan memahami Tritungal yang berakibat pada kesalahan atau ajaran sesat seperti antara lain: modalisme, subordinasionisme yang hadir dalam pemikiran Arianisme, Politeisme atau Sabelianisme. Ini adalah jantung dari doktrin trinitas.[19]

  1. Monarhianisme dinamis/Adopsionisme.
  2. Ajaran ini menyatakan bahwa Yesus Kristus hanyalah manusia biasa. Ia menjadi Anak Allah melalui proses adopsi, yang terjadi pada saat Yesus dibaptis di Sungai Yordan. Pada saat Yesus dibaptis, Allah Bapa mengadopsinya dan memberinya kuasa dan hikmat-Nya, sehingga Ia bisa melakukan berbagai mujizat. Roh Kudus hanyalah kekuatan dari Allah Bapa; bukan personal God. Pandangan ini diajarkan di Roma oleh Theodotus of Byzantium (+ 190). Selanjutnya, pada tahun 260, Uskup Antiokhia yang bernama Paul of Samosata juga mengajarkan Dynamic Monarchianism.

  3. Modalisme
  4. Modalisme memahami bahwa hanya ada satu Allah dengan tiga manifestasi yang beragam. Ketigaan Allah hanya dipahami sebagai sebuah wajah atau manifestasi yang jamak. Tritunggal bukanlah Modalisme.

  5. Monarkhianisme modalistik/Sabellianisme.
  6. Paham ini menyatakan bahwa Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus bukanlah tiga Pribadi Ilahi, melainkan hanya merupakan tiga bentuk manifestasi (modes) dari Allah, yang hanya terdiri dari satu Pribadi. Sebagai Pencipta langit dan bumi serta sebagai Pemberi Taurat, Allah disebut sebagai. “Bapa.” Sebagai inkarnasi menjadi manusia (Yesus Kristus), Allah disebut sebagai “Anak.” Dalam zaman gereja, Allah disebut sebagai “Roh Kudus.” Satu Pribadi Ilahi dengan tiga nama (manifestasi). Pandangan ini diajarkan oleh Sabellius dari Ptolemais seorang teolog pada abad ke-3), Noetus (penatua gereja di Asia Kecil, + 230), dan Praxeas (seorang Kristen di Asia Kecil, akhir abad ke-2/awal abad ke-3).

    Sabellius menyatakan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga bentuk eksistensi atau tiga manifestasi dari satu Allah. Menurut pandangan ini, Trinitas bukan berkaitan dengan natur Allah, tetapi hanya cara Allah dalam menyatakan diriNya. Pandangan ini mengajarkan bahwa sebagai Bapa, Allah adalah Pencipta dan Pemberi Hukum; sebagai Anak, Allah adalah Penyelamat; sebagai Roh Kudus, Allah melahirkan kembali dan menguduskan. Atau dengan cara lainnya, Sabellianisme mengajarkan bahwa Allah dikenal sebagai Bapa dalam Perjanjian Lama, sebagai Anak dalam kitab-kitab Injil; dan sebagai Roh Kudus untuk zaman ini. Sabellianisme dalam setiap kasus, percaya pada satu Pribadi saja yang mewujudkan diri dengan tiga cara. Pandangan ini juga dikenal sebagai trinitas ekonomi, yaitu: satu Allah yang mewujudkan diri-Nya dalam jabatan-jabatan berbeda pada ekonomi (administrasi/dispensasi) yang berbeda. Di Gereja Timur, Sabellianisme juga dikenal sebagai Monarkianisme yang modalistik. Sabellius ini diikuti oleh Abelardus (1079-1142) yang menyatakan bahwa nama Bapa untuk menyatakan kuasa; Putra untuk menyatakan hikmat; Roh Kudus untuk menyatakan kebaikan.

    Sabelianisme merupakan bidat dalam Gereja Timur yang merupakan bentuk modalisme teologis. Sabellianisme adalah kepercayaan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga mode atau aspek Allah yang berbeda, yang bertentangan dengan pandangan Tritunggal tentang tiga pribadi yang berbeda di dalam ketuhanan. Sabellius menganggap Yesus sebagai Allah sambil menyangkal pluralitas pribadi-pribadi di dalam Tuhan dan memegang kepercayaan yang mirip dengan modalistik monarki. Monarki kapitalisme umumnya dipahami telah muncul selama abad kedua dan ketiga, dan telah dianggap sebagai bidat setelah abad keempat, meskipun hal ini dibantah oleh beberapa orang. Sabelianisme dinyatakan bidat dalam Konsili Konstantinopel I pada tahun 381. Tritunggal bukanlah Sabelianisme.

  7. Subordinasionisme.
  8. Aliran ini menyatakan bahwa Yesus Kristus dan Roh Kudus lebih rendah (dalam hakikat Mereka) daripada Bapa. Origenes dari Aleksandria (184–253) mengajarkan bahwa Yesus ialah deuteros theos (allah kedua). Anak dan Roh Kudus memiliki unsur/zat (substance) yang berbeda dengan Bapa. Subordinasionisme, seperti Arianisme (pandangan bahwa keilahian satu atau lebih adalah lebih rendah dari yang lain), memahami bahwa Anak bersifat subordinasi kepada Bapa. Gagasan ini muncul pertama-tama oleh Tertulianus. Kemudian Origenes membuat menjadi lebih kuat dengan menyatakan bahwa Anak lebih rendah dari Bapa. Arius mengatakan bahwa hanya Bapa yang tidak bermula. Ide ini ditolak di dalam pengakuan iman Nicea melalui konsilinya (325). Arianisme berasal dari Arius (seorang penatua gereja di Alexandria, + 250–336) mengajarkan bahwa Yesus Kristus (Allah Anak) diciptakan oleh Allah Bapa. Oleh karena itu, Allah Anak tidak bersifat kekal. Allah Anak juga memiliki unsur/zat yang berbeda dengan Allah Bapa.

  9. Pneumatomakhianisme/Macedonianisme.
  10. Macedonius (uskup Konstantinopel, 342-346, 351-360) ini menolak keilahian Allah Roh Kudus.

  11. Ebionitisme.
  12. Paham ini menolak keilahian Yesus Kristus. Bagi para penganutnya, Yesus Kristus hanyalah manusia biasa yang memiliki karunia untuk mengadakan mujizat.

    Umumnya, para pengikut Ebionitism berasal dari kalangan Yahudi-Kristen pada abad pertama. Mereka sangat menekankan hukum dan tradisi Yahudi, serta menolak ajaran-ajaran Rasul Paulus.

  13. Partialisme.
  14. Aliran ini mengajarkan bahwa Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus merupakan tiga komponen (bagian) dari satu Allah. Bagi para penganutnya, Bapa, Anak, Roh Kudus, hanyalah bagian-bagian dari Allah; secara terpisah, Mereka tidak sepenuhnya Allah. Hanya ketika Mereka bergabung, Mereka baru menjadi Allah sepenuhnya.

  15. Triteisme.
  16. Paham ini menyatakan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga Pribadi Ilahi yang independen (berdiri sendiri). Mereka memiliki hakikat dan substansi yang sama, namun terpisah satu dengan yang lainnya. Triteisme mengajarkan bahwa ada tiga Allah yang benar-benar terpisah satu dengan yang lain. Pemahaman ini menekankan keterpisahan mutlak dan tidak melihat keterikatan dari aspek ketigaan Allah. Allah benar-benar tiga. Ini sebetulnya adalah salah satu bentuk politeisme.

  17. Jehovah’s Witnesses.
  18. Aliran ini didirikan oleh Charles Taze Russell (+ tahun 1870). Mereka menolak doktrin Trinitas. Bagi mereka, Yesus adalah ciptaan Allah (Yehovah) yang pertama. Sedangkan Roh Kudus dipahami bukan sebagai personal God, melainkan hanya sebagai God’s active power (bnd. Kej. 1:2 dalam New World Translation).

  19. Mormonisme.
  20. Aliran ini didirikan oleh Joseph Smith (+ tahun 1830). Kaum Mormon menolak ajaran tentang Allah Tritunggal. Bagi mereka, Yesus merupakan keturunan dari Allah Bapa dan Allah Ibu. Sedangkan Lucifer juga merupakan anak dari Bapa. Dengan demikian, Yesus dan Lucifer adalah kakak-beradik. Roh Kudus dipahami oleh kaum Mormon sebagai suatu makhluk yang kepadanya diberikan berbagai atribut dan kuasa Ilahi. Ia memberikan kesaksian mengenai Allah Bapa dan Yesus kepada umat manusia.

Dari penjabaran ringkas kekeliruan dalam memahami Tritunggal, maka pandangan yang baru-baru ini mencuat yang dijelaskan di atas adalah pandangan Sabelianisme modern yang sejak zaman Bapa-bapa Gereja dinyatakan sebagai bidat.

2. Sikap Gereja Bethel Indonesia

Doktrin mengenai Allah Tritunggal sangatlah unik. Para teolog tidak menemukan paralelisme antara konsep Tritunggal dengan berbagai agama serta kepercayaan umat manusia yang ada selama ini: Allah itu satu, tetapi terdiri dari tiga Pribadi. Tidak ada agama atau keyakinan lain yang mengajarkan hal serupa.

Sepanjang sejarah gereja, muncul berbagai tokoh atau aliran sesat yang menyimpang dari kebenaran Ilahi yang diajarkan dalam Alkitab. Di satu sisi, hal ini disebabkan oleh karena tidak ada penjelasan atau ilustrasi yang memuaskan tentang konsep Tritunggal.

Namun, di sisi lain, berbagai kesesatan dan penyimpangan para tokoh serta aliran tersebut disebabkan oleh karena keangkuhan mereka untuk menjelaskan hakikat Allah yang tanpa batas supaya dapat diterima oleh rasio dan akal budi manusia yang sangat terbatas. Bagaimana mungkin ciptaan yang penuh dengan keterbatasan bisa memahami secara sempurna keberadaan sang Penciptanya yang tanpa batas?

Kitab Ulangan (29:29) menyatakan bahwa ada hal-hal yang tersembunyi, yang tidak dinyatakan Allah kepada manusia. Allah, dalam kedaulatan dan hikmat-Nya yang tidak terbatas, secara sengaja memilih untuk tidak menyatakan hal-hal tersebut kepada manusia. Sebagai ciptaan yang penuh keterbatasan, sudah selayaknya jika kita merendahkan diri di hadapan-Nya. Akal budi dan kepandaian kita tidak akan mampu untuk memahami dan memberi penjelasan yang memuaskan tentang hakikat dan keberadaan Allah yang luar biasa.

John Calvin, seorang ahli teologi yang hidup di abad 16 (10 July 1509 – 27 May 1564), pernah berkata: When God closes His holy mouth, I will desist from inquiry. Dengan kata lain, Calvin berkata: jika Allah memilih untuk menyembunyikan hal-hal tertentu, maka kita sepatutnya berhenti bertanya/mengorek-ngorek mencari penjelasan.

Ini bukan berarti orang Kristen tidak boleh bertanya. John Calvin ialah seorang ahli teologi yang hebat. Dia pintar, otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan, rajin belajar, baca buku. Tapi dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang ahli teologi, Calvin belajar bahwa ada hal-hal, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab, karena Allah sendiri memang menutup mulut-Nya. Oleh karena itu, maka Calvin belajar untuk berhenti bertanya dan merendahkan diri di hadapan Allah yang Maha Kuasa. Orang percaya perlu meneladani kerendahan hati Ayub dan John Calvin. Orang Kristen tidak dilarang untuk bertanya mengenai hal-hal teologis. Tapi perlu disadari bahwa tidak semua pertanyaan itu bisa dijawab.

Seorang tokoh gereja, Santo Augustinus dari Hippo (354–430), berpendapat: Understanding is the reward of faith. Therefore, seek not to understand that you may believe, but believe that you may understand. Hal ini sangatlah penting untuk kita ingat. Tentunya sangatlah baik dalam perjalanan iman kita jika kita mengerti sepenuhnya apa yang kita imani. Namun tidak semua doktrin dalam kekristenan bisa kita pahami sepenuhnya.

Di saat seperti itu, kita dituntut untuk tetap beriman, tetap percaya kepada Allah, walaupun ajaran-ajaran yang kita percayai itu belum/tidak bisa dijelaskan secara ilmiah (Yoh 20:29). Pengetahuan dan pengenalan kita akan Allah baru akan sempurna ketika kita bertemu dengan-Nya di zaman yang akan datang, di saat Kerajaan Allah mencapai puncaknya (bnd. 1 Kor 13:12).

Oleh karena itu, sebagaimana telah dijabarkan panjang lebar di atas, maka dengan ini GBI menyatakan menolak dengan tegas doktrin atau ajaran Modalisme, Subordinasionisme, Arianisme, Triteisme dan Sabelianisme.

GBI berpegang teguh pada ajaran Alkitab yang mengajarkan Allah yang Esa adalah Allah Tritunggal, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagaimana kemudian diteguhkan oleh Bapa-bapa Gereja dalam tujuh Konsili Ekumenis yang pertama yang diterima oleh semua Gereja di sepanjang zaman dan di seluruh dunia. GBI menegaskan bahwa sebagaimana ditegaskan dalam tujuh Konsili Ekumenis tersebut, doktrin Tritunggal adalah doktrin hakiki dan jati diri Kristen yang tidak dapat diubah.

3. Aspek Pastoral

Setiap pejabat GBI mesti mengikuti doktrin atau ajaran GBI, baik bagi dirinya sendiri sebagai keyakinan teologis pribadi maupun bagi orang-orang yang ia layani baik dalam renungan, khotbah, pengajaran, seminar, dll.

Doktrin Tritunggal secara pastoral juga penting karena Tritunggal menghadirkan nilai-nilai adiluhur seperti kasih, kesatuan, keharmonisan, dan ketaatan. Relasi Bapa, Anak, dan Roh Kudus menghadirkan nilai-nilai kristiani tersebut. Menghilangkan Tritunggal juga menghilangkan nilai-nilai tersebut dalam Gereja.

Referensi

  1. ^ Sumber dicatat terpisah dan diambil dari rekaman di Youtube, Saling silang para teolog trinitarian, bukti kebenaran doktrin ke-esa-an Allah, 25 Agustus 20
  2. ^ Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 2000), 226, 231–238.
  3. ^ Diambil dari Liuwe H. Westra, The Apostles' Creed Origin, History, And Some Early Commentaries (Tunrhout: Brepols, 2002), h. 26, 27.
  4. ^ Westra, h. 27.
  5. ^ Piotr Ashwin Siejkowsky, The Apostles’Creed and It’s Early Christian Context (London: T&T Clark, 2009), h. 1.
  6. ^ Westra, h. 13 dst.
  7. ^ https://www.britannica.com/topic/Apostles-Creed
  8. ^ French L. Arrington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta (Yogyakarta: Andi, 2015), h. 92.
  9. ^ BPH GBI, Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia (Jakarta: BPH GBI, 2016), h. 11.
  10. ^ Michael Rea (ed.), Oxford Reading in Philosophical Theology Vol. 1: Trinity, Incarnation and Atonement (Oxford: Oxford University Press, 2009), h. 2.
  11. ^ Rea, h. 3
  12. ^ Rea, h. 4
  13. ^ Semua teks asli bahasa Ibrani diambil dari Deutsche Bibelgesselschaft, Biblia Hebraica Stuttgartensia (Stuttgart: DBG, 1967/1977).
  14. ^ Robert Alter, Genesis: Translation and Commentary (New York: W.W. Norton, 1996), h. 3.
  15. ^ Semua teks Yunani Perjanjian Lama diambil dari Deutsche Bibelgesselschaft, Septuagint – LXX (Stuttgart: DBG, 2006)
  16. ^ Robert Alter, Strong as Death is Love: The Songs of Song, Ruth, Esther, Jonah and Daniel (New York: W. W. Norton, tt.), bagian 7:13.
  17. ^ Robert C. Hill (ed.), Theodoret Cyrus: Commentary on Daniel (Leiden: SBL, 2006), bagian 1424, h. 213.
  18. ^ Alter, ibid.
  19. ^ Rea, h. 4

Sumber

Lihat pula