Jati diri seorang murid (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 28 Februari 2021 18.44 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal11 Oktober 2020
Video Voice of Pentecost 20 (Minerva Gabriela Tuanakotta )
Unduh Unduh OSP
Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:18-20)
“The church changes the world not by making converts but by making disciples.”
— John Wesley

Jika kita mempelajari mengenai Amanat Agung, maka ada satu tema sentral yang seringkali justru dilupakan oleh orang Kristen yaitu menjadikan semua bangsa murid-Ku. Menurut bahasa aslinya, kata murid (mathetes) dalam ayat tersebut memiliki pengertian seseorang yang belajar. Dalam hal ini pengertian belajar bukan sekedar untuk menambah pengetahuan, tetapi dengan tujuan melakukan segala perintah Yesus di dalam kuasa-Nya yang selalu menyertai.

I. Mengapa harus menjadi murid?

Menarik untuk dicatat bahwa Yesus selalu memanggil pengikutnya dengan kata murid. Istilah inilah yang pada awalnya melekat kepada orang-orang yang percaya kepada Yesus. Setelah gereja berdiri beberapa lama, barulah orang-orang mulai menyebut para murid sebagai orang Kristen (Kis 11:26) yang berarti pengikut Kristus. Namun status orang percaya sebagai murid tidak hilang. Ada beberapa alasan mengapa Tuhan ingin agar kita menjadi murid dan menjadikan segala bangsa murid.

1. Cara Tuhan untuk memperluas Kerajaan Allah

Yesus sendiri melakukan cara ini ketika Ia melayani di bumi. Selama kira-kira tiga setengah tahun Yesus mengajar dan melatih murid-murid-Nya. Ada lebih dari 40 ayat dalam seluruh kitab Injil yang mencatat bahwa Yesus mengajar dan ada 284 ayat yang menggunakan kata murid. Yesus juga mengutus murid-murid-Nya dalam pelayanan untuk mempraktekkan apa yang sudah mereka pelajari. Hal ini mencapai titik klimaksnya ketika di dalam kitab Kisah Para Rasul murid-murid menerima kuasa Roh Kudus untuk menjadi saksi, memberitakan kabar baik ke seluruh dunia, akibatnya jumlah murid semakin bertambah (Kisah 6:1).

Apakah yang dilakukan oleh jemaat gereja mula-mula? Ada 19 ayat dalam Kisah Para Rasul yang mencatat bahwa para rasul mengajar dan 30 ayat menggunakan kata murid sementara hanya dua ayat memakai kata Kristen.

“Supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman” (Kisah 6:4)

Berdasarkan ayat tersebut kita dapat melihat bahwa selain berdoa, mengajar memiliki porsi besar dalam pelayanan para Rasul dalam gereja mula-mula. Lukas mencatat mengenai kebiasaan jemaat mula-mula; “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Lukas 2:42). Selain berkumpul dan berdoa dalam ibadah-ibadah, orang-orang percaya bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, ini artinya para rasul memuridkan orang-orang yang percaya kepada Yesus, tepat seperti yang diperintahkan oleh Yesus dalam Amanat Agung.[1]

Kerajaan Allah diperluas dengan cara menjadikan semua bangsa murid Yesus, artinya mereka menerima kebenaran mengenai Yesus dan keselamatan yang Ia sediakan bagi semua manusia. Hal ini tidak berarti semua orang percaya harus menjadi seorang guru atau pengkhotbah. Tetapi sebagai seseorang murid yang belajar dan menerima kebenaran Firman Tuhan, maka hidupnya harus menjadi surat Kristus yang dapat dibaca semua orang (2 Korintus 3:2-3). Hal ini berarti bahwa sebagai murid kita menjadi saksi hidup yang dapat dilihat oleh dunia ini, baik lewat pertobatan kita, perubahan hidup kita, pelayanan kita, kasih kita bahkan seluruh aspek kehidupan kita untuk memuji kemuliaan Tuhan. Seorang murid yang benar dan baik ialah seorang yang mengasihi Tuhan dan sesama, sehingga menggunakan dan memakai semua pengetahuan, fasilitas, materi dan uang untuk memuliakan Tuhan dan memberkati sesama.

“Sebab bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang menutupi dasar laut” (Habakuk 2:14)

2. Memperkuat iman orang percaya untuk menghadapi tantangan

Ketika seseorang percaya kepada Yesus, maka mereka harus meninggalkan cara hidup mereka yang lama dan hidup dengan cara yang baru. Perubahan cara hidup ini harus dimulai dengan perubahan pola pikir. Paulus menulis: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2). Mengapa orang percaya harus berubah? Karena walaupun sudah mengalami kelahiran baru dan menjadi ciptaan yang baru, orang percaya masih hidup di dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Tantangan dan pergumulan masih harus dihadapi oleh setiap orang percaya.

Dalam sebuah penelitian terhadap orang Kristen ditemukan bahwa mereka yang memiliki kelenturan kognitif yang tinggi, cenderung lebih setia dalam imannya walaupun sudah melalui pergumulan yang berat dalam hidupnya. Kelenturan Kognitif (cognitive flexibility) adalah “kemampuan untuk menyesuaikan perilaku sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi di sekitar.” Kemampuan ini adalah salah satu bagian penting dari fungsi eksekutif otak manusia. Kemampuan ini dapat dikembangkan dengan memperhatikan apa yang kita pikirkan[2] . Jadi, mereka yang membaca dan merenungkan firman Tuhan akan lebih tahan dalam menghadapi tantangan, lebih setia menghadapi cobaan dan lebih kuat dalam imannya kepada Tuhan.

“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Roma 10:17)

3. Menghadapi bahaya pengajaran sesat

Salah satu ancaman paling besar yang dihadapi oleh orang Kristen sejak gereja mula-mula hingga akhir zaman adalah pengajaran sesat. Bahkan jika kita melihat pola serangan iblis kepada orang percaya sejak awal hingga kesudahan zaman adalah dengan dusta, tipu muslihat, kepalsuan dan ajaran yang menyimpang (Efesus 6:11). Semua hal tersebut berkaitan dengan area pikiran. Dimulai dari tipu muslihat kepada Hawa di Taman Eden (Kejadian 3:1-4), hingga penyesatan di akhir dari kerajaan seribu tahun (Wahyu 20:8). Itulah sebabnya Yesus menyebutkan bahwa iblis adalah pendusta dan bapa segala dusta (Yohanes 8:44).

Seperti sudah dibahas dalam paper sebelumnya[3] , insan Pentakosta memiliki tiga pilar untuk menguji sebuah pengajaran; pilar Holy Spirit (Roh Kudus), pilar Holy Community (Komunitas Kudus) dan pilar Holy Scripture (Firman Tuhan). Selain Roh Kudus dan komunitas kudus, Firman Tuhan adalah pilar sama pentingnya dengan yang lain. Bahkan dapat dikatakan, Firman Tuhan menjadi standar tak tergoyahkan yang digunakan untuk mengukur dua pilar yang lainnya. Rasul Yohanes menulis bahwa Yesus adalah Firman Allah; “Pada mulanya adalah Firman” (Yohanes 1:1). Segala sesuatu diciptakan oleh Firman; “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia” (Yohanes 1:3). Ketika Yesus datang kembali untuk mengalahkan Antikristus Ia memakai titel Firman Allah; “Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: "Firman Allah"” (Wahyu 19:13).

Ketika Tuhan Yesus bernubuat mengenai kondisi akhir zaman seperti tercatat dalam Matius 24, maka salah satu tanda akhir zaman adalah penyesatan, mesias palsu dan nabi palsu. Petrus juga menyebutkan akan munculnya guru-guru palsu. Kita perlu menyadari bahwa kata “palsu” disini menyiratkan sesuatu yang seperti asli tetapi sebenarnya bukan. Sesuatu yang sepertinya benar padahal salah. Kebanyakan orang Kristen akan segera menolak sesuatu yang nyata-nyata bertentangan dengan apa yang secara umum Ia percaya.

Namun cara kerja penyesatan adalah dimulai dengan sebuah pemikiran yang sepertinya benar, sepertinya lebih masuk akal, tetapi sebenarnya salah. “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Amsal 14:12). Ada sebuah ungkapan yang berkata “the devil is in the detail” yang artinya Iblis bekerja di area yang kelihatannya tidak penting tetapi sebenarnya punya dampak yang fatal. Hal ini berarti dalam menghadapi pengajaran sesat diperlukan tingkat pemahaman akan kebenaran yang menyeluruh.

Di era informasi digital sekarang ini, setiap orang bisa mencari, mendapatkan ataupun terpapar oleh berbagai jenis informasi. Tidak semua informasi yang tersedia adalah informasi yang benar. Sebaliknya ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membuat dan menyebarkan informasi yang tidak benar (hoax, fake news, teori konspirasi) yang dapat mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang esensi atau bahkan dapat menyesatkan kita dan membuat kita meninggalkan iman kita kepada Tuhan.

Dalam Alkitab kita menemukan bahwa Tuhan menggunakan Firman Tuhan sebagai senjata untuk melawan pengajaran sesat dan tipu muslihat iblis. Lima kali di dalam Alkitab di mana Firman Tuhan digambarkan sebagai pedang (Ef 6:17; Ibr 4:12; Why 1:16; Why 2:16; Why 19:15). Untuk melawan dusta, tipu muslihat, dan pengajaran yang sesat haruslah dengan kebenaran. Oleh karena itu sebagai orang percaya tidak ada alasan untuk tidak belajar Firman Tuhan karena di dalamnya tersedia kebenaran Allah yang akan menelanjangi pengajaran sesat.

“Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus.” (Efesus 4:19-20)

II. Kesalahpahaman mengenai pengajaran

Namun ada orang-orang Kristen yang tidak terlalu suka dengan pengajaran, menganggap bahwa pengajaran adalah sesuatu yang rumit, membosankan dan tidak terlalu berpengaruh terhadap hidupnya[4] . Mereka berpikir yang penting adalah percaya dan memiliki pengalaman bersama dengan Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini semakin nampak terutama kepada insan Pentakosta.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja Pentakosta adalah gereja yang menaruh bobot yang cukup besar kepada pengalaman rohani bersama dengan Roh Kudus. Luapan hati ketika jemaat merasakan hadirat Tuhan diekspresikan dalam suasana ibadah yang dinamis dan pujian penyembahan yang penuh semangat. Dalam hal pelayanan, penyataan kuasa Roh Kudus melalui karunia-karunia seperti berbahasa roh, pelayanan kesembuhan ilahi, mujizat dan karunia-karunia lainnya adalah warna dari kehidupan rohani insan Pentakosta. Semua hal tersebut akan sangat kontras berbeda ketika dibandingkan dengan suasana yang terjadi dalam proses belajar yang terkesan formil, statis dan kaku sehingga dirasa tidak menarik. Apalagi jika ditambah dengan pembahasan hal-hal yang “lebih dalam” seperti ketritunggalan Allah, inkarnasi Yesus, penebusan dosa, kedaulatan Allah dan topik-topik alkitabiah lainnya. Hal-hal seperti ini yang kemudian mendorong orang Kristen untuk mencoba menyederhanakan kebenaran Firman Tuhan karena dianggap terlalu rumit untuk dimengerti.

Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah fakta kebenaran mengenai realita rohani yang sudah Tuhan tetapkan. Kita tidak bisa memilih untuk memiliki kebenaran yang sederhana sesuai dengan keinginan kita, karena realita mengenai Pribadi Pencipta Alam Semesta pasti tidak sederhana. Ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu tidak rumit sehingga manusia bisa mengerti Tuhan dengan sepenuhnya. Namun jika Tuhan bisa dimengerti sepenuhnya oleh manusia, maka Dia bukan lagi Tuhan.

1. Pengalaman rohani dianggap lebih penting daripada pengajaran

C.S. Lewis di dalam bukunya yang berjudul “Mere Christianity” membuat sebuah ilustrasi mengenai tensi antara pengalaman rohani dan pengajaran[5] . Jika seseorang pernah melihat samudera Atlantik dari sebuah pantai, dan kemudian melihat sebuah peta samudera Atlantik, maka ia berpindah dari pengalaman yang nyata kepada yang kurang nyata: berpindah dari merasakan ombak yang nyata kepada sepotong kertas berwarna. Tetapi di sinilah poin-nya. Peta tersebut memang hanya sebuah kertas berwarna, tetapi ada dua hal yang harus Anda ingat mengenai peta tersebut. Pertama, peta tersebut dibuat berdasarkan temuan ratusan bahkan ribuan orang ketika mereka berlayar di samudera Atlantik tersebut. Jadi peta tersebut dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang nyata dari ratusan bahkan ribuan orang, senyata seperti yang dialami jika Anda ada di pantai tersebut: bedanya, pengalaman Anda hanyalah sebuah pengalaman pribadi yang sempit dan terbatas, peta tersebut adalah gabungan dan kombinasi dari semua pengalaman orang-orang yang merasakan melintasi Atlantik sebelumnya.

Hal yang kedua, jika Anda ingin pergi melintasi Atlantik, maka harus menggunakan peta tersebut. Jika Anda hanya puas dengan berjalan-jalan di pantai saja, maka pengalaman Anda akan jauh lebih menyenangkan dari pada melihat sebuah peta. Tetapi jika Anda ingin melintasi Atlantik, maka peta tersebut jauh lebih bermanfaat dari pada pengalaman berjalan di tepi pantai.

Pengajaran itu seperti peta. Jika Anda hanya mempelajari dan merenungkan mengenai doktrin Kekristenan saja, maka hal tersebut tidak nyata dan tidak terlalu menyenangkan dibandingkan pengalaman rohani yang nyata bersama dengan Tuhan. Pengajaran bukanlah Tuhannya, melainkan seperti sebuah peta menuju pengenalan akan Tuhan. Pengajaran adalah peta yang dibuat berdasarkan pengalaman dari ratusan orang yang sudah memiliki perjalanan bersama dengan Tuhan.

Jika sebagai orang Kristen kita tidak mau menjadi murid dan belajar kebenaran Alkitab, maka bukan berarti kita sama sekali tidak mengenal Allah, namun lebih parah dari pada itu, kita akan memiliki banyak pemikiran yang salah mengenai Allah. Itulah sebabnya pengalaman rohani yang didapatkan seseorang secara pribadi seperti mimpi, penglihatan, nubuat harus diuji berdasarkan firman Tuhan (1 Tes 5:19-21; 1 Yoh 4:1).

Anda tidak dapat pergi kemana-mana hanya dengan melihat peta tanpa pergi berlayar di laut. Namun Anda juga tidak akan sampai ke tujuan jika anda pergi berlayar di laut tanpa menggunakan peta. Memiliki pengalaman rohani tentu lebih menyenangkan dan terasa lebih nyata, tetapi tidak akan membawa kita kemana-mana. Di sisi lain, hanya fokus kepada pengajaran akan terasa sangat kering dan membosankan. Jadi pengalaman rohani dan pengajaran sama pentingnya.

2. Pengajaran dianggap sebagai sumber potensi perpecahan Gereja

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab dari perpecahan di dalam gereja adalah karena perbedaan pengajaran. Namun di sisi lain, jika ada sebuah doktrin yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan Alkitab maka pemisahan belum tentu merupakan sesuatu yang buruk.

Dalam pelayanan-Nya selama kira-kira tiga setengah tahun di bumi ini, beberapa kali Yesus harus menghadapi pengajaran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang menyimpang dan Yesus tidak segan-segan untuk menegur bahkan memisahkan diri-Nya dan pengajaran-Nya dari mereka. Salah satu contoh adalah kejadian yang dicatat di dalam Matius pasal 15. Pada waktu itu orang-orang Farisi dan ahli Taurat mempertanyakan mengapa Yesus dan murid-murid-Nya tidak membasuh tangan sebelum makan seperti yang diwajibkan di dalam hukum Taurat. Kemudian Yesus menanggapi tuduhan itu dengan mengajarkan sebuah prinsip: “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang” (Matius 15:11).

Mendengar hal tersebut murid-murid Yesus menyatakan kepada Yesus bahwa apa yang Ia katakan telah menjadi batu sandungan bagi orang Farisi (ayat 12). Dengan kata lain, orang-orang Farisi itu sangat tersinggung dengan perkataan Yesus. Tentu saja Yesus mengetahui hal tersebut dan Yesus memang sengaja melakukan hal itu. Jawab Yesus: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya. Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang” (Matius 15:13-14).

Albert Mohler dalam paper-nya menulis bahwa ada tiga tingkat kekritisan sebuah pengajaran yang memerlukan respon yang berbeda. Ia menyebutnya sebagai theological triage.[6] Triage adalah istilah yang dipakai dalam ilmu kedokteran untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan kepada seorang pasien yang baru masuk ke dalam sebuah ruang gawat darurat. Kata triage sendiri berasal dari bahasa Perancis yang berarti mengelompokkan atau memilah-milah. Ketika ada pasien yang masuk ke dalam ruang gawat darurat maka petugas yang pertama kali menemui pasien tersebut harus menentukan apakah pasien tersebut memerlukan prioritas atau masih dapat menunggu. Seseorang yang mengalami kecelakaan hebat tentunya lebih dahulu ditangani dibandingkan orang yang hanya terkilir kakinya.

Hal yang sama juga berlaku dalam pengajaran. Ada tingkatan kepentingan yang berbeda dari suatu pengajaran:

  • Tingkat pertama: Pengajaran dasar dalam Kekristenan yang mempengaruhi keselamatan. Pengajaran-pengajaran ini tidak dapat diubah atau dikompromikan sekecil apapun, yaitu pengajaran mengenai Alkitab adalah firman Tuhan, Tritunggal, Ketuhanan Yesus, Karya Penebusan, dan Keselamatan oleh kasih karunia melalui iman hanya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Pada tingkat ini jika ada perbedaan maka penolakan bahkan sampai perpecahan adalah sesuatu yang dapat diterima bahkan mungkin harus terjadi dan tidak dapat dihindari. Kita dapat memberikan label pengajaran sesat kepada mereka yang menolak pengajaran dasar Kekristenan ini. Misalnya Saksi Yehova, Mormon, Christian Science, Unitarian dll.
  • Tingkat kedua: Perbedaan pengajaran yang dapat memisahkan gereja, tetapi tidak mempengaruhi keselamatan. Contoh pengajaran seperti kepastian keselamatan, metode baptisan air, baptisan dan karunia Roh Kudus. Kita dapat memiliki doktrin yang berbeda dengan gereja dari denominasi non-pentakostal tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa jemaat dari gereja tersebut tidak akan diselamatkan selama mereka percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
  • Tingkat ketiga: Pengajaran yang berbeda tetapi tidak cukup penting untuk memisahkan gereja. Contoh pengajaran seperti urutan peristiwa kedatangan Yesus yang kedua kali dan akhir zaman.

Seperti seorang petugas di ruang gawat darurat yang melakukan penilaian akan tingkat kekritisan pasien yang datang, demikian juga orang Kristen harus melakukan penilaian akan tingkat kekritisan sebuah pengajaran. Tanpa pembedaan tingkat prioritas ini, dapat terjadi dimana setiap perbedaan pengajaran sekecil apapun dapat menjadi potensi perpecahan gereja. Atau sebaliknya, terjadi kompromi yang hebat ketika perbedaan pengajaran yang bertentangan tetap diterima dan ditoleransi di dalam gereja. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan Firman, tingkat kedewasaan rohani dan hikmat dari Roh Kudus untuk menilai apakah sebuah pengajaran kita tolak atau kita terima.

Sebagai catatan: Gereja Bethel Indonesia memiliki Pengakuan Iman GBI, Pengajaran Dasar GBI, dan Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia yang menjadi acuan standar pengajaran di dalam lingkungan gereja. Kita harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pengajaran-pengajaran di tingkat pertama karena dampak yang ditimbulkannya berpengaruh langsung kepada keselamatan seseorang. GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta pun mengeluarkan Official Standing Paper (Sikap/Pandangan GBI Jalan Jendral Gatot Subroto) untuk menjadi acuan hal-hal yang lebih spesifik.

3. Ketulusan hati dianggap lebih penting daripada pengetahuan

Ada beberapa orang Kristen yang berpikir bahwa yang penting mereka memiliki motivasi yang tulus dalam hati mereka di hadapan Tuhan dalam perjalanan kehidupan rohani mereka dan itu sudah cukup. Salah satu ayat yang sering disalahartikan adalah ketika Yesus berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:3). Dari ayat ini maka dibuatlah sebuah pengertian bahwa orang percaya harus seperti anak kecil yang polos. Namun jika kita pikirkan sungguh-sungguh, seorang anak kecil walaupun tidak memiliki banyak pengertian bukan berarti mereka tidak punya keinginan untuk belajar. Menjadi seperti anak kecil tidak sama artinya dengan menjadi bodoh. Seorang anak secara alamiah selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar.

Yesus berkata “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16). Tuhan menginginkan kita untuk memiliki hati seperti anak-anak, tetapi pola pikir orang dewasa. Jadi tidak ada alasan untuk tidak belajar. Penulis kitab Ibrani juga menulis mengenai hal ini:

“Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:11-14)

III. Aplikasi praktis

Dalam suratnya, Rasul Petrus menulis bahwa orang percaya menerima kelimpahan kasih karunia dan damai sejahtera karena pengenalan akan Allah dan akan Yesus. Selain itu, Tuhan juga menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh, oleh karena pengenalan kita akan Dia. Dengan cara itu kita dapat mengambil kodrat ilahi dan luput dari hawa nafsu dunia yang membinasakan dunia (2 Petrus 1:2-4).

Bagaimana cara kita memiliki pengenalan akan Allah? Rasul Petrus memberikan langkah-langkahnya:

“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang” (2 Petrus 1:5-7)

Sebagai murid kita harus senantiasa belajar untuk semakin mengenal Tuhan. Kehidupan seorang murid sejati adalah kehidupan yang senantiasa berubah semakin baik, bukan untuk kemuliaan diri sendiri tetapi menjadi saluran kasih yang berdampak kepada semua orang. Semua peningkatan tersebut dimulai dengan kata “sungguh-sungguh berusaha.”

Di dalam kitab Amsal, terdapat 19 ayat di mana Tuhan menegur bahkan mengutuk orang yang malas. Tuhan tidak suka kepada orang yang malas bekerja, juga kepada orang yang malas belajar. Sebagai murid adalah jati diri kita untuk senantiasa belajar. Belajar tidak mengenal usia maupun posisi/jabatan pelayanan. Mulailah dengan membaca dan merenungkan Alkitab setiap hari, mendengarkan khotbah dan pengajaran yang sehat dari gereja, mengikuti kelas-kelas KOM. Lakukan semua itu dengan hati yang penuh dengan kerinduan untuk semakin mengenal Tuhan.

Kepada orang yang percaya kepada-Nya, Tuhan tidak hanya meminta seluruh hati kita, tetapi juga seluruh pikiran kita. Namun terpujilah Tuhan karena melalui kasih karunia-Nya, ketika kita sungguh-sungguh berusaha, maka Tuhan akan mempertajam kemampuan kita untuk belajar.

“Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita” (2 Petrus 1:8)
“Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid” (Yesaya 50:4)

Amin.

Referensi

  1. ^ Aspek pengajaran dalam proses pemuridan adalah hal yang tidak terpisahkan. Pertumbuhan ke arah Kristus haruslah sejalan dengan apa yang Tuhan ajarkan. Iman dan ketaatan akan hal inilah yang membuat pikiran dan roh kita sejalan dengan Kristus. Keith L. Johnson dalam “Theology as Discipleship” (InterVarsity Press, 2015, h.461 Kindle) menulis: “The act of learning how to think and speak rightly about God is an act of faith and obedience that involves our participation in the mind of Christ and our partnership with Christ by the power of his Spirit. In this sense, the practice of theology takes place as an act of discipleship to Christ.”
  2. ^ Harris, Kimi. “How the Brain Keeps Faith in a Good God Amid a Weary World.” https://www.christianitytoday.com/ct/2018/december-web-only/how-brain-keeps-faith-in-good-god-amidst-wearyworld.html, diakses 4 September 2020.
  3. ^ Tim Teologia GBI Gatot Subroto, Memahami Pentakosta Ketiga Dalam Paradigma Pentakosta. 2020.
  4. ^ Keith L. Johnson, Theology as Discipleship, Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2015, h.191 Kindle edition. Setiap orang Kristen tanpa mereka sadari berteologia praktis dalam keseharian mereka, tetapi tidak semua orang Kristen memandang positif disiplin teologia atau pengajaran.
  5. ^ C.S. Lewis., Mere Christianity. 1952.
  6. ^ Mohler Jr., R. Albert, The Pastor as Theologian