Meneduhkan badai (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 Mei 2021 14.47 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal03 Mei 2020
Video Voice of Pentecost 1 (Part 1) (Chris Silitonga )
Video 2 Voice of Pentecost 4 (Part 2) (Chris Silitonga)
Unduh Unduh OSP

Seluruh dunia sedang menghadapi krisis besar dengan munculnya virus novel corona (selanjutnya akan digunakan kata COVID-19 untuk wabah yang disebabkan virus ini). Meskipun tidak terlihat mata saking kecilnya, ini menjadi masalah yang besar di hampir semua negara di dunia.

Kantor-kantor tutup, tempat wisata, arena bermain bahkan gereja pun harus meniadakan ibadah demi memutus penularan COVID-19 yang kini telah menjadi pandemi. Kerugian ekonomi sangat besar. Banyak orang lapar disebabkan pendapatan menurun, sementara harga-harga kebutuhan justru meningkat. Yang mengerikan dari COVID-19 adalah ini disebabkan oleh virus baru yang obatnya belum diketemukan. Akibatnya kematian terjadi dalam skala masif di mana-mana.

I. Menempatkan masalah dalam perspektif Ilahi

Banyak pendapat yang saling bertentangan mengenai pandemi COVID-19 ini. Ada yang berpendapat bahwa ini dari Tuhan, ada pula yang berpendapat dari si jahat. Tulisan ini tidak menelusuri dari mana virus ini berasal, namun berangkat dari fakta yang terjadi bahwa itu ada. Satu hal yang kita percaya adalah bahwa apa saja yang terjadi di dunia tidak lepas dari kontrol Tuhan.

Apakah ada peristiwa dalam Alkitab yang mirip dengan situasi yang terjadi sekarang dan bagaimana penanganannya? Virus yang muncul di akhir tahun 2019 dengan cepat menyebar dan menebar ketakutan pada banyak orang, dapat dianalogikan seperti suatu badai yang awalnya kecil namun kian lama kian membesar. Awalnya banyak orang menganggap enteng, namun ketika itu membesar menjadi taufan, orang menjadi ketakutan.

Mari kita lihat kisah dalam Alkitab dimana Yesus dan murid-murid menghadapi taufan yang dahsyat. “Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air." (Markus 4:36-37). Murid-murid Yesus yang pernah menjadi nelayan dapat menilai “secara profesional” bahwa itu adalah situasi yang sangat berbahaya. Nyawa mereka bisa melayang jika tidak ada pertolongan. COVID-19 yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakibatkan kematian yang besar pun dapat disebut dengan badai yang mengancam kehidupan.

A. Tuhan Yesus mengatasi taufan besar

Ketika murid-murid menghadapi taufan yang sangat besar dan gelombang tinggi yang dapat menenggelamkan perahu mereka, Tuhan Yesus sedang tidur di buritan perahu tersebut. “Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali." (Markus 4:38-39). Walaupun Yesus ada bersama dengan murid-murid, namun entah mengapa mereka menjadi takut tenggelam. Bahkan mereka menyangsikan apakah Tuhan peduli atas hidup mereka.

Yesus bangun dan menghardik angin yang sedang mengancam mereka, “Diam! Tenanglah!” dan angin itu pun menurut pada perkataan Yesus, menjadi reda dan danau menjadi teduh sekali. Para murid menjadi heran dengan kejadian itu, mengapa kata-kata Yesus begitu berkuasa sampai-sampai bisa memerintah atas alam. Rahasia mengapa badai yang ganas itu menjadi tenang adalah karena kata-kata dari Tuhan Yesus. Ada sesuatu pada kata-kata Yesus yang begitu berkuasa. Dalam Yohanes 12:49 Yesus mengatakan: “Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan.” Inilah “rahasia” kuasa kata-kata Yesus yaitu bahwa kata-kata yang diucapkan adalah dari Bapa, bukan dari diri Yesus sendiri. Bapa menyampaikan Firman melalui Roh Kudus kepada Yesus. Ketika Yesus diurapi Roh Kudus, salah satu tujuannya adalah untuk membawa Firman dari Bapa. Ini adalah gambaran suatu kehidupan yang sangat spesifik, yaitu hidup menurut kehendak Allah Bapa.

B. Tuhan Yesus memberi teladan

Dalam setiap perkataan dan perbuatan-Nya, Yesus senantiasa mendengar pesan dari Bapa. Dalam doa yang diajarkan-Nya kepada murid: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10b). Bapa menyampaikan Firman dari sorga agar terjadi atau dieksekusi di bumi. Tidak mengherankan ketika Yesus memerintahkan angin taufan untuk diam, angin itu pun taat kepada perkataan Yesus yang berasal dari Bapa.

Pola yang Alkitab nyatakan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus akan menjadi teladan bagi murid-murid atau gereja. Rasul Petrus menyatakan: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." (1 Petrus 2:21). Jadi salah satu tujuan Kristus datang ke bumi adalah memberi teladan bagaimana gereja harus hidup dan bertindak. Gereja nantinya harus mengikuti jejak-Nya, yaitu mendengar Firman dari Bapa yang disampaikan oleh Roh Kudus.

C. Pentakosta memampukan murid-murid meneladani Tuhan Yesus

Ketika hari Pentakosta tiba, Roh Kudus dicurahkan ke atas murid-murid yang sedang berdoa, memuji dan menyembah Tuhan. Roh Kudus memberikan kuasa kepada murid-murid atau gereja untuk melaksanakan Firman dari Bapa sebagaimana yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus. Roh Kudus menuntun gereja pada tujuan Bapa, yaitu keselamatan manusia.

Apa yang harus dikerjakan murid-murid setelah itu? Tuhan Yesus pernah mengatakan kepada mereka: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa;" (Yohanes 14:12). “Pekerjaan” yang dimaksudkan di sini adalah tanda dan mujizat. Ketika Yesus mengatakan ini, murid-murid belum sepenuhnya mengerti, mungkin bertanya-tanya kok bisa mereka melakukan pekerjaan yang lebih besar daripada yang Yesus lakukan. Apakah ini bukan sebuah penghujatan? Bukankah karena kalimat tersebut justru diucapkan oleh Yesus? Apakah berarti murid-murid lebih besar dari Yesus? Jawabannya tegas: tidak!

Tujuan Tuhan Yesus datang ke bumi adalah melakukan pekerjaan keselamatan di kayu salib. Kemudian Tuhan mengutus murid-murid untuk memberitakan karya salib tersebut ke seluruh dunia. Jadi jelas bahwa murid adalah orang berdosa yang diselamatkan dan diutus untuk memberitakan keselamatan. Tentu tidak akan lebih besar dari Yesus. Setelah Yesus pergi kepada Bapa (Yohanes 14:12b), Bapa mengaruniakan Roh Kudus kepada murid-murid untuk melakukan kehendak Bapa. Jadi ketika seorang murid melakukan pekerjaan mujizat pada hakikatnya bukanlah kemampuan dari murid tersebut, melainkan hanya hasil dari kuasa Firman dan kuasa Roh Kudus. “Pekerjaan yang lebih besar” terjadi karena pekerjaan tersebut dinyatakan setelah Yesus mati, bangkit, naik ke Sorga dan setelah Roh Kudus dicurahkan.

D. Apakah meneladani Tuhan Yesus merupakan sebuah penghujatan?

Dalam kesempatan berjumpa dengan orang yang sakit, Yesus menyembuhkan mereka setelah mendapat tuntunan dari Bapa. Ketika menghadapi orang yang anggota keluarganya meninggal, Yesus membangkitkan sesuai tuntunan Bapa. Ketika Yesus melihat orang-orang yang mati rohani, hati-Nya berbelas kasihan dll. Semua yang Yesus lakukan adalah contoh bagi murid-murid-Nya. Dalam pelayanan mereka, akan ada kasus-kasus yang sama dan mereka sudah diberitahu bagaimana menanganinya.

Dalam masa krisis karena COVID-19 ini kita ingin terbebas secepat mungkin. Pihak yang berwenang sedang bekerja keras untuk meredakan penularan virus tersebut. Dokter dan paramedis sedang bekerja keras menyembuhkan yang sakit. Bahkan ada banyak dokter yang sedang dirawat dan meninggal karena terpapar virus ini. Masyarakat banyak yang memberi sumbangsih untuk meringankan beban orang lain yang terkena imbas dari pandemi corona. Setiap orang seharusnya bisa memberi kontribusi agar badai ini segera berlalu.

Apa yang bisa diberikan oleh gereja dalam situasi seperti ini? Ingatlah bahwa Tuhan mengutus kita untuk menjadi saksi dan menyampaikan Injil keselamatan. Dalam situasi ini kita berdoa, menguatkan jemaat yang sedang ketakutan dan kuatir, memberi bantuan kepada jemaat dan masyarakat serta upaya-upaya lain sesuai anjuran/instruksi pemerintah. Salah satu yang penting yang bisa diberikan gereja adalah menyampaikan kehendak Tuhan.

Pdt Dr Ir Niko Njotorahadjo mendapatkan pesan Tuhan bahwa peristiwa yang terjadi sekarang adalah mirip dengan peristiwa ketika Tuhan Yesus dan murid-murid mengalami badai besar di tengah danau. Sebagaimana badai itu menjadi teduh ketika Yesus menghardik, maka pandemi COVID-19 pun perlu dihardik agar diam dan tenang, dalam arti tidak lagi menimbulkan penyakit pada banyak orang. Tujuan akhir dari tindakan tersebut adalah orang akan melihat kuasa Tuhan, berseru kepada nama Tuhan dan akhirnya diselamatkan. Meneladani Tuhan Yesus bukanlah suatu penghujatan!

Bangsa dan negara membutuhkan peran serta setiap kita untuk meredakan pengaruh akibat COVID-19 dan ini akan menjadi momen yang strategis guna menyatakan kasih dan kuasa Kristus kepada orang banyak. Kita diberi Firman dan kepenuhan Roh Kudus agar berguna bagi Tuhan dan bagi kemanusiaan. Apakah dengan demikian kita perlu mengumpulkan orang dalam jumlah besar untuk didoakan? Tentu tidak untuk saat ini. Tuhan akan memberi tuntunan mengenai cara melakukannya.

II. Pemahaman Pentakostal tentang Kesembuhan Ilahi

Hari-hari ini ada banyak perkataan negatif yang dengan nada sinis mempertanyakan dimana itu kuasa Tuhan; dimana itu kuasa Bahasa Roh; kenapa ada begitu banyak pelayan Tuhan yang dipanggil Tuhan? Tuduhan-tuduhan kejam ini mengasumsikan beberapa hal. Pertama, seolah-olah menganggap bahwa GBI memiliki semacam ‘kunci’ kesembuhan ilahi yang selalu akan menghasilkan kesembuhan. Kedua, seolah-olah hamba-hamba Tuhan yang mengajarkan kesembuhan ilahi adalah pendeta palsu karena terbukti mereka sendiri tidak disembuhkan. Ketiga, seolah-olah badai COVID19 membuktikan bahwa kesembuhan ilahi tidak lagi ada atau tidak lagi efektif. Yang keempat, seolah-olah GBI adalah gereja yang hanya menekankan berkat dan kesembuhan, sering dikenal dengan ‘injil kemakmuran’; tidak memberitakan Injil: kematian dan kebangkitan Yesus.

Bagaimana GBI, sebagai gereja Pentakosta, memahami kesembuhan ilahi? Ini adalah saat yang tepat untuk kita kembali memperkuat pemahaman kita akan kesembuhan ilahi.

A. GBI mengakui adanya Kesembuhan Ilahi

Pengakuan ini diformulasikan dalam Pengakuan Iman GBI yang berbunyi: “Kesembuhan Ilahi tersedia dalam korban penebusan Yesus untuk semua orang yang percaya.” Penjabaran Pengakuan Iman GBI menjelaskan lebih lanjut:

“Pada saat Tuhan Yesus datang ke dunia ini, Ia berjalan keliling untuk melepaskan tiap-tiap orang yang dirasuk setan dan menyembuhkan segala orang sakit yang percaya kepada-Nya (Kisah 10:38; Markus 16:15-18). … Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati, sekarang duduk di sebelah kanan Bapa. Hari ini juga Ia masih menyembuhkan segala penyakit tiap-tiap orang percaya dengan perantaraan hamba-hamba-Nya yang diurapi dengan Roh Kudus. … Untuk pelayanan ini, Tuhan menyediakan karunia kesembuhan, karunia iman, karunia mujizat dari Roh Kudus (1 Korintus 12:9-10).”

Hari-hari ini terdengar suara yang menyatakan “…kalau ada orang sembuh, bukan karena engkau sembuhkan, karena memang penyakitnya bisa sembuh.” Suara seperti ini pastilah keluar dari ketidakpercayaan bahwa Tuhan masih memakai hamba-hamba-Nya untuk mujizat. GBI percaya Roh Kudus yang memakai para murid Yesus di Kisah Para Rasul, adalah Roh Kudus yang sama yang sekarang memakai murid Yesus pada jaman now untuk menyembuhkan orang sakit.

B. Kesembuhan Ilahi tidak menjamin semua disembuhkan

Di dalam buku “Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia” yang diterbitkan oleh BPH GBI disebutkan ada 10 (sepuluh) penyebab orang tidak menerima kesembuhan dari Kristus, yaitu:

  1. Kurang pengetahuan tentang kehendak Allah untuk kesembuhan ilahi.
  2. Tidak percaya akan kesembuhan ilahi.
  3. Tidak mau menerima Kristus Juru Selamat dan Tabib itu dalam hidupnya.
  4. Tidak percaya akan Hamba Tuhan yang mendoakannya.
  5. Hatinya berpaling kepada dosa dan tidak mau meninggalkan ikatan dosa tersebut.
  6. Kesuaman dalam gereja dan pengajaran yang melemahkan janji Tuhan akan kesembuhan.
  7. Roh yang tidak dapat mengampuni.
  8. Tidak mau berdamai dan kesalahan-kesalahan yang tidak mau dibereskan.
  9. Bimbang/ragu-ragu, hanya melihat penyakit dan tidak percaya kepada doa yang dinaikkan.
  10. Tidak bertindak sesuai dengan iman.

Apakah ke-10 penyebab di atas dapat menjelaskan semua kejadian apabila seseorang tidak disembuhkan secara ilahi? Ada satu penjelasan lagi oleh Dr. French L. Arrington, dalam bukunya Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta:

“Saat ini Allah masih menyembuhkan orang sakit. Tetapi penyembuhan sekarang bukan puncak penyembuhan atau penyembuhan tertinggi. Puncak pembebasan kita selaku orang percaya dalam Kristus terjadi pada kehidupan mendatang. Penyembuhan saat ini adalah sebuah tanda dan pencicipan lebih dulu akan penebusan tubuh kita di masa depan. Pembebasan ilahi manusia dari penyakit dan kesakitan memberikan pandangan sekilas tentang seperti apakah kehidupan kekal bagi orang-orang yang ditebus. Jika kebangkitan tubuh terjadi, segala penyakit dan kematian akan dihapuskan. … Penebusan kita saat ini hanya sebagian dan penyakit masih terus terjadi. Tetapi apabila Kristus datang kembali, penderitaan, penyakit, keluhan, dan kematian akan berhenti selamanya terhadap orang-orang yang telah ditebus.” (h 364-365)

Intinya, apabila kesembuhan ilahi tidak dialami maka tidak perlu berkecil hati karena memang kesembuhan yang sekarang hanyalah sebuah “pencicipan lebih dulu”, namun “hidangan utama” yaitu kesembuhan sempurna yang akan terjadi di langit dan bumi yang baru pada akhirnya akan di dapatkan oleh semua orang yang menerima keselamatan di dalam Kristus Yesus. Inilah puncak penyembuhan tertinggi.

Kembali Dr. Arrington menyimpulkan:

“Baik Alkitab maupun pengalaman tidak mendukung pernyataan bahwa mereka akan disembuhkan dalam setiap situasi. Dari sisi manusia kekurangan iman menjadi suatu faktor. Dari sisi ilahi adalah berkuasanya kebijakan dan kehendak Allah.” (h 370).

1. Respons ketika Kesembuhan tidak terjadi

Apabila kesembuhan yang sangat diharapkan, baik secara ilahi maupun natural, tidak terjadi, bagaimana seharusnya respons dari orang yang mengasihi Tuhan? Ketika duri dalam daging, yang ditafsirkan sebagai satu bentuk penyakit, tidak diangkat oleh Tuhan, Paulus menerimanya dengan hati yang rela (2 Korintus 12:10) meski Tuhan tidak memberi penjelasan atas semuanya itu. Tuhan hanya berkata: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. (2 Korintus 12:9).

Bahkan ketika Paulus tidak dapat memahami cara kerja Tuhan dalam rencana keselamatan, ia meresponinya dengan sebuah pengagungan (doksologi): O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:33-36). Ketidakmengertian kita akan pikiran Allah, justru membuat kita lebih dalam menyembah-Nya. Haleluya!

2. Apakah penyakit mematikan merupakan hukuman Allah?

Hari-hari ini banyak terdengar suara nyinyir yang bergumam “katanya berbahasa Roh meningkatkan imunitas,” juga “gereja kok jadi pusat penyebaran covid-19”. Tuduhan-tuduhan seperti ini jelas menunjukkan adanya gejala salfok (salah fokus). Untuk memahami apakah penyakit mematikan merupakan hukuman Allah, kita harus memahami dua konsep ini secara seimbang: Prinsip Retribusi dan Prinsip Kedaulatan Allah.

Dari sudut pandang Prinsip Retribusi, penyakit dapat dipandang sebagai penghukuman dosa. Musa mengingatkan orang-orang Israel bahwa, karena ketidaktaatan mereka, Allah akan memberi mereka penyakit sama seperti yang ia telah berikan kepada orang-orang Mesir (Keluaran 15:26). Dalam beberapa hal, penyakit merupakan penghukuman ilahi untuk membawa pada pertobatan dan mendekatkan manusia kepada Allah (Bilangan 21:4-9; Ulangan 28:27; 2 Tawarikh 26:19-20).

Dari sudut pandang Prinsip Kedaulatan Allah, penyakit mematikan yang disembuhkan adalah sebuah bentuk penyataan kemuliaan Allah. Dalam Yohanes 9:1-3, kebutaan sejak lahir bukan disebabkan oleh dosa orang tersebut atau dosa orang tuanya, tetapi agar penyembuhan yang terjadi membawa kemuliaan bagi Allah. Dari sudut pandang ini, penyakit yang berujung kepada kematian tidak selalu dikaitkan dengan derajat dosa, akan tetapi membawa pesan Tuhan kepada orang yang hidup, yang mengamati kabar terjadinya kematian. Injil Lukas menceritakannya demikian: “Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: "Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. (Lukas 13:1-3)

Di dalam kisah ini, Yesus menghendaki supaya orang tidak salah fokus:

  • Ini bukan tentang sesuatu yang fana (kematian di dunia), tapi tentang sesuatu yang kekal (kematian kedua)
  • Ini bukan tentang mereka yang mati, tetapi tentang engkau yang harus bertobat.

C. Kesembuhan Ilahi tidak berarti menolak kesembuhan alami

Prof. Arrington, kembali menyatakan dengan indah dalam bukunya yang kini telah menjadi text-book, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta:

Bagi kita, kegagalan melihat bahwa Allah berkarya melalui baik sarana alami dan sarana supernatural adalah suatu kekeliruan. Umat Allah memerlukan iman kuat bahwa penyembuhan benar-benar berasal dari Allah - yaitu penyembuhan yang mendadak, ajaib, dan mempesonakan. Namun, untuk melihat Allah yang hanya bekerja lewat penyembuhan-penyembuhan luar biasa membuat batasan palsu terhadap kuasa Allah. Segala sesuatu yang baik berasal dari Allah. Pengetahuan medis dan keterampilan para dokter dan perawat adalah dari tangan Allah yang beranugerah. Allah berkarya melalui sarana-sarana, baik yang alami maupun supernatural. Dia berkarya dalam menanggapi iman dan doa umat-Nya. Dia juga melakukan penyembuhan melalui para dokter dan perawat. Kita harus menggunakan diri kita akan sarana-sarana apa pun untuk sarana-sarana penyembuhan yang telah diberikan Allah. Doa dan pengurapan minyak memiliki tempatnya sendiri, tetapi doa dan pengobatan medis tidak saling bertentangan. Keuntungan doa penyembuhan dan pengetahuan medis mengalir dari Allah yang sama.” (h 369)

Dalam hal ini kita perlu berhati-hati dalam membaca buku yang ditulis oleh hamba Tuhan yang dipakai Tuhan dengan karunia kesembuhan, namun mempercayai kesembuhan ilahi secara ekstrem. Kenneth E. Hagin adalah salah satu contoh hamba Tuhan yang melihat penyembuhan alami lewat dokter adalah semacam pengecualian karena kelemahan manusia. Kehendak Tuhan yang terbaik adalah selalu lewat kesembuhan supranatural. Pada saat isterinya harus dioperasi oleh dokter, Hagin menanggap iman isterinya belum dewasa.

D. GBI tidak mengabaikan Pekabaran Injil dalam Pelayanan Kesembuhan

Ada suara yang mengatakan “… kalau ada orang sembuh bukan karena engkau sembuhkan, karena memang penyakitnya bisa sembuh, maka engkau langsung mendapat anggota yang banyak… ini bukan penginjilan karena tidak memberitakan Kristus yang mati...”.

Apa yang bisa kita katakan tentang tuduhan seperti ini? Kita kembali kepada Firman dan pengakuan iman GBI. Bagi GBI, kesembuhan ilahi adalah salah satu bentuk dari berkat keselamatan. Keselamatan manusia itulah yang terpenting. GBI tidaklah mengusung injil kemakmuran. Tentang hal ini Penjabaran Pengakuan Iman GBI menyatakan:

“Pelayanan kesembuhan Ilahi dengan jalan berdoa ini harus berjalan terus bersama-sama dengan pelayanan Pekabaran Injil untuk keselamatan manusia dari dosanya. Inilah tanda bahwa Yesus Kristus yang hidup itu menyertai kita dan menetapkan Firman-Nya senantiasa (Markus 16:20).”

Inilah juga yang dilakukan oleh keluarga besar GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta, lewat Healing Movement Crusade. Pemberitaan Injil selalu menjadi agenda utama; pelayanan kesembuhan ilahi adalah ‘tanda-tanda yang menyertainya’. Semua murid Tuhan Yesus akan melakukan hal ini:

“Mereka pun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” (Markus 16:20)

III. Kesimpulan

Gereja digambarkan sebagai tubuh yang memiliki banyak anggota dengan fungsi yang berbeda-beda, maka tiap gereja atau hamba Tuhan diharapkan memberikan kontribusi bagi masyarakat sesuai karunia masing-masing dalam menghadapi COVID-19. Tidak perlu merendahkan suatu cara hanya karena berbeda dengan cara kita. Kontribusi tangan tidak sama dengan jantung atau paru-paru. Tidak pada tempatnya menjadi pengkritik atau nyinyir namun tidak melakukan apa-apa.

Semua pihak berjuang untuk menangani COVID-19 serta berbagai dampak yang timbul karenanya. Keluarga besar GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta sudah mengambil bagian yang nyata melalui berbagai kegiatan yang dilakukan. Bantuan-bantuan ke berbagai pihak sudah dilakukan tanpa dipublikasikan. Dan yang paling penting menyatakan kehendak Tuhan agar badai COVID-19 dapat berhenti atau menurun dampaknya. Dalam tuntunan Roh Kudus, badai COVID-19 dihardik agar diam, tidak lagi menimbulkan penyakit atau korban. Kuasa Tuhan akan dinyatakan dan banyak orang diselamatkan. Amin.