Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (Teologia GBI) (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 16 September 2020 12.49 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (Teologia GBI)
2018

A. Pandangan Teologis GBI

Menyikapi maraknya dukungan terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) khususnya setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis pada bulan Juni 2015 lalu, maka pada prinsipnya:

GBI menyatakan setuju dengan apa yang disetujui oleh Tuhan Yesus Kristus dan Firman-Nya, dan menolak apa yang ditolak oleh Tuhan dan Firman-Nya.

GBI mengakui Alkitab PL dan PB adalah Firman Allah, dan menjadikannya sebagai sumber berteologi dan tuntunan mutlak di dalam pengambilan keputusan etis dan perilaku. GBI percaya bahwa akibat dosa, maka gambar dan rupa Allah dalam manusia telah rusak, dan karenanya ia berdosa. Untuk itu ia membutuhkan kelahiran baru dengan mengakui dosa-dosanya, bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. GBI juga meyakini bahwa Roh Kudus memampukan orang percaya menaklukkan keinginan daging, termasuk hasrat seksual di luar konteks pernikahan dan praktek homoseksual. Kuasa darah Yesus dapat menyucikan setiap orang percaya. Roh Kudus juga sanggup memulihkan kehidupan yang telah hancur, dan menjadikannya hidup berkenan kepada Allah.

Ada tiga pandangan tentang homoseksual:

  1. Pertama, ada orang yang lahir sebagai homoseks (gay atau lesbian).
    Jika ini benar maka pihak yang disalahkan adalah Tuhan. Sama halnya dengan orang yang berpikir bahwa dia “terperangkap' dalam tubuh yang salah dan perlu melakukan transgender (misalnya secara jasmani dia adalah laki-laki tapi merasa bahwa dia adalah perempuan, atau sebaliknya) maka yang disalahkan adalah Tuhan yang dianggap menciptakannya secara keliru.
  2. Kedua, ada yang menganggap homoseks adalah penyakit. Jika ini benar maka bilamana dia tidak sembuh maka pihak yang disalahkan adalah orang lain (dokter, psikiater).
  3. Ketiga, homoseks adalah dosa, maka orang yang bersangkutan harus bertanggung-jawab secara moral dan dia harus bertobat untuk mengalami transformasi hidup.

Alkitab (PL dan PB) menyatakan sikap yang jelas mengenai homoseksual dan memandangnya sebagai dosa (Im. 18:22, Rm. 1:26-27). Alkitab memandang bukan hanya perilaku, bahkan pikiran dan hasrat homoseks pun sudah berdosa (Bnd. Mat. 5:27-28). Yesus adalah sahabat orang berdosa (Luk. 7:34) tapi Dia tidak berdosa. Yesus mengasihi orang berdosa tapi membenci dosa. Yesus berkuasa untuk melepaskan orang dari dosa!

B. Sikap Teologis GBI

Berdasarkan pandangan di atas, maka GBI menyatakan sikap teologis yang menolak praktek LGBT dan pernikahan sejenis (same sex marriage) dengan alasan sebagai berikut:

  1. Bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, bukan sekedar sebagai bentuk keragaman ciptaan tetapi merupakan pasangan yang diordinasi untuk maksud pro-kreasi, yaitu meneruskan keturunan (Kej. 1:27-28).
  2. Bahwa Allah menciptakan jenis kelamin dan fungsi seksual masing-masing pada pria dan wanita, untuk maksud yang dirancang Allah sebagai pasangan untuk melakukan persetubuhan di dalam konteks pernikahan. Maka definisi persetubuhan dalam rancangan Allah adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Di luar ini, Alkitab memandang sebagai kekejian: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian” (Im. 18:22).
  3. Bahwa karena dosa, dunia bukan saja menjadi buruk, tetapi hadirnya penyakit dan kerusakan orientasi seksual manusia. Oleh karena itu, ketertarikan seseorang kepada sesama jenisnya adalah akibat dosa dan bukanlah rancangan awal Allah. Dan dosa ini adalah salah satu yang disebutkan Paulus ”... sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar, demikianlah suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka ... sehingga melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Roma 1:26-27).
  4. GBI menolak perkawinan sejenis, karena pembuat hukum perkawinan itu adalah Allah Pencipta, yang harus ditaati oleh manusia ciptaan-Nya. Allah menciptakan manusia menurut gambar. Nya sebagai laki-laki dan perempuan (Kej. 1:27), ini ditegaskan ulang oleh Yesus ketika berbicara tentang perkawinan (Mat. 19:4-6). Manusia tidak dapat membatalkan ketetapan Allah itu berdasarkan voting suara terbanyak. Pernikahan Kristen itu bersifat monogami, seumur hidup, dan heteroseksual.
  5. Allah menetapkan perkawinan yaitu heteroseksual, jauh sebelum Negara ada. Negara bisa saja mengakomodir praktek-praktek hidup dan perkawinan sesuai dengan roh zaman, dan Negara sebagaimana biasanya tidak menaruh perhatian kepada masalah teologis. Namun, orang Kristen yang mengakui sepenuhnya ordinasi perkawinan heteroseksual, lebih tunduk kepada Allah dan firman Nya ketimbang kepada hukum dan ketetapan Negara.
  6. Mengendalikan hasrat seksual (baik dalam kasus LGBT maupun non-LGBT) adalah bagian dari disiplin rohani. Dalam hal ini, sama seperti kita pada umumnya dipanggil untuk menyalibkan segala keinginan daging yang berdosa, maka tak terkecuali orang dengan kecenderungan homoseksual pun juga diharapkan dapat mengenakan Kristus dan memohon anugerah Allah untuk memampukannya tidak mempraktekkan perbuatan dosa seksual sesama jenis.

Inti Sikap GBI tentang LGBT

Implikasi pelayanan pastoral

Pernyataan teologis GBI dalam implementasi tindakan dan pelayanan pastoral terhadap kaum LGBT adalah sebagai berikut:

  1. GBI memandang disorientasi seksual kaum LGBT adalah dosa, namun meyakini bahwa kuasa Yesus dan pekerjaan Roh Kudus mampu mentransformasi orang berdosa (sama juga bagi masalah-masalah seksual lainnya pada kaum heteroseksual).
  2. GBI mengimbau dan menyerukan suatu sikap yang penuh empati kepada kaum LGBT. Sama seperti Yesus yang memiliki sikap yang tidak kompromi terhadap dosa, namun pada waktu yang sama pula, Yesus menaruh keberpihakan pastoral kepada orang-orang yang sakit, dan termarjinalkan. Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa.

    Wujud kasih gereja kepada kaum homoseks bukan dengan memandang perilaku itu legal berdasarkan hak azasi manusia, namun justru harus menolong mereka keluar dari perbuatan dosa itu, sesuai I Kor. 6:9-11 “... banci, orang pemburit ... tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita"

  3. Dengan keyakinan bahwa kuasa Yesus dan Roh Kudus mampu memulihkan persoalan manusia (seksual, emosional, fisik, dll), gereja harus tak henti-hentinya memberikan pertolongan pastoral, medis, dan lainnya untuk penderita LGBT.
  4. Untuk itu, gereja diharapkan dapat bermitra dengan lembaga-lembaga yang secara khusus dimaksudkan untuk melayani kaum LGBT. Gereja bukan hanya mendoakan dan melayani secara konseling dengan sikap yang empati namun menaruh harapan optimis kepada anugerah Allah yang memulihkan.

  5. Gereja diharapkan menjadi tempat yang bersahabat dengan kaum LGBT dan menjadi wadah yang dapat menolong kaum LGBT menemukan tempat positif mereka bertumbuh di dalam pertumbuhan iman.
  6. Karena menurut teori psikologi sosial bahwa prilaku seseorang dapat terbentuk akibat lingkungan (social learning theory) dan secara terus menerus terjadi penguatan (re-enforcement). Maka, dengan kegiatan-kegiatan rohani yang khusus bagi kaum LGBT diharapkan ada penguatan nilai-nilai yang baru (rohani).

  7. Gereja seharusnya tak melibatkan kaum LGBT di dalam pelayanan-pelayanan mimbar gerejani seperti pelayanan firman, pemimpin pujian, singers, dan pelayanan perjamuan kudus, dan pelayanan guru sekolah minggu, dalam kemajelisan, dan lain-lainnya.
  8. Dalam kasus gereja yang memiliki divisi pelayanan dan ibadah kaum waria, mereka dapat melayani komunitas mereka, dengan asumsi bahwa mereka tidak mempraktekkan perbuatan seksual sesama jenis (hal ini sama diberlakukan bagi kaum heteroseksual yang melakukan praktek seksual di luar pernikahan).

Kaitan dengan pejabat GBI

GBI menolak mentahbiskan kaum LGBT menjadi pejabat di lingkungan sinode GBI baik sebagai Pdp, Pdm, Pdt.

Sumber

  • Departemen Teologi (2018). Pdt Henky So, MTh, et. al.. ed. Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 16 Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender (LGBT). Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia.