Kasih karunia Alkitabiah (Teologia GBI): Perbedaan antara revisi

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
k (upd)
k (upd)
Baris 1: Baris 1:
{{SikapTeologisSinodeGBI}}
{{SikapTeologisSinodeGBI | title=Kasih karunia Alkitabiah | year=2018}}
'''Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia'''<br />
'''2018'''
 
= Kasih Karunia Alkitabiah =
= Kasih Karunia Alkitabiah =
'''''Biblical Grace vs Hyper Grace'''''
'''''Biblical Grace vs Hyper Grace'''''
Baris 130: Baris 127:
   | first =  
   | first =  
   | authorlink =  
   | authorlink =  
   | title = Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 5 Mengenali Ciri-Ciri Ajaran Sesat
   | title = Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 8 Kasih Karunia Alkitabiah
   | publisher = Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia
   | publisher = Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia
   | year = 2018
   | year = 2018

Revisi per 10 September 2020 09.40

Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Kasih karunia Alkitabiah
2018

Kasih Karunia Alkitabiah

Biblical Grace vs Hyper Grace

Keunikan atau perbedaan utama Kekristenan bila dibandingkan agama-agama lain adalah kasih karunia (anugerah, grace). Agama adalah usaha manusia untuk mencapai Allah dan mendapat keselamatan melalui amal atau perbuatan baik. Sedangkan Kekristenan meyakini bahwa keselamatan adalah hasil usaha Allah untuk mencapai manusia karena kasih karunia-Nya. Bukan kita yang memilih Kristus, tapi Kristuslah yang memilih kita (Yoh. 15:16). Keselamatan adalah anugerah Allah yang diterima dengan iman. Perbuatan baik bukan syarat, melainkan bukti atau buah keselamatan (Ef. 2:8-10). Itulah inti ajaran kasih karunia yang Alkitabiah (biblical grace).

Di sini kita melihat ada dua sikap ekstrem yang saling berhadapan, yakni: Legalisme dan Antinomianisme (termasuk Hyper Grace). Legalisme adalah pandangan yang menganggap bahwa kita bisa memperoleh keselamatan dan pertumbuhan rohani dengan cara melakukan peraturan dan hukum agama dengan ketat. Misalnya: Untuk menjadi rohani maka kita harus menghindari minuman beralkohol, dansa, bioskop, dll. Padahal menghindari semua itu tidak serta merta menjamin kerohanian seseorang. Legalisme menempatkan peraturan di atas Allah dan manusia. Contoh: orang Farisi mau membunuh Yesus karena dianggap melanggar hukum Allah yaitu menyembuhkan orang pada hari Sabat (Mat. 12:9-14). Sikap ini jelas berlawanan dengan kasih karunia, dan tidak memahami bahwa hukum Taurat hanyalah penuntun yang membawa kita kepada Kristus (Gal. 3:24). Tapi bukankah Yesus mengatakan bahwa jika hidup keagamaan kita tidak lebih baik dari orang Farisi (yang suka memberi persepuluhan dan berpuasa seminggu dua kali), maka kita tidak akan masuk sorga? (Mat. 5:20, Luk. 18:10 20). Benar, tapi yang ditekankan Yesus bukan kuantitas perbuatan lahiriahnya melainkan kualitasnya, yakni sikap hati/motivasi tulus ketika kita melakukan hal itu (Mat. 5:1-12, 6:1-18). Itulah inti Khotbah di Bukit yang dicatat dalam Matius 5-7. Kristus telah membebaskan kita dari perbudakan legalisme (Kol. 2:20-23).

Di sisi yang lain adalah Antinomianisme (anti nomos = hukum) yang intinya menyatakan: Kita diselamatkan oleh anugerah semata, maka kita tidak perlu melakukan hukum Tuhan. Jadi walaupun kita melakukan dosa, kita tidak akan kehilangan keselamatan, selama kita mempercayai hal yang benar. Pandangan ini mendasarkan ajarannya pada tulisan rasul Paulus tentang kasih karunia versus hukum Tuhan, namun yang dipahami secara keliru (2 Pet. 3:15-16), karena menekankan kasih karunia secara "over dosis". Martin Luther menentang antinomianisme karena ini bisa mengarah pada tindakan amoral. Inilah ciri kelompok Nikolaus (yang menolak hukum Tuhan) yang dibenci oleh Yesus (Why. 2:6, 15). Konsep kasih karunia yang membuat kita nyaman ketika berdosa bukanlah kasih karunia yang Alkitabiah (biblical grace) melainkan kasih karunia yang murahan (cheap grace). Kasih karunia itu gratis tapi tidak murahan. Seperti sering dikatakan bahwa GRACE itu singkatan: God's Riches at Christ's Expense (Kekayaan Tuhan dengan pengorbanan Kristus). Dietrich Bonhoeffer menyatakan bahwa kasih karunia yang murahan (cheap grace) adalah mengkhotbahkan pengampunan tanpa menuntut pertobatan, persekutuan tanpa pengakuan dosa, kasih karunia tanpa pemuridan, tanpa salib dan tanpa Kristus! Dalam Matius 7:23, Tuhan mengusir orang yang tidak menunjukkan buah pertobatan dengan kalimat, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Yun: anomian = lawlessness, without law).

Legalisme menekankan peraturan tanpa relasi dengan Tuhan (rules without relationship), sedangkan Antinomianisme (lawlessness) menekankan relasi dengan Tuhan tanpa peraturan (relationship without rules) padahal keduanya harus berjalan seirama. Dalam Kristus kita menaati perintah Tuhan oleh kasih karunia Allah yang memampukan (Yoh. 14:15, I Yoh. 5:3), bukan untuk memperoleh keselamatan melainkan sebagai buah keselamatan (Ef 2:8-10), karena iman sejati diwujudkan juga dalam perbuatan baik (Yak. 2:18). Motivasi kita menuruti perintah Tuhan bukan karena takut, tapi karena kasih! Hukum utama yang disebut Yesus dalam Perjanjian Baru adalah kasih, yakni mengasihi Allah dan sesama (Mat. 22:37-40, Gal. 6:2).

Walaupun memiliki banyak varian, kita akan mempelajari beberapa inti pengajaran Hyper Grace (ada yang menyebutnya sebagai: Radical Grace, Pure Grace) dan membandingkannya dengan ajaran kasih karunia yang Alkitabiah: Biblical grace, yang diyakini GBI, antara lain:

1.

Hyper Grace

  1. Pada saat kita lahir baru maka Yesus telah menghapus segala dosa kita untuk selamanya, baik dosa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang (dosa yang belum kita lakukan). Dasarnya: Kol. 2:13, Ibr. 10:14. Dengan demikian kita tidak bertanggung jawab lagi atas dosa kita karena semua sudah ditanggung oleh Yesus.
  2. Kita juga tidak perlu mengaku dosa lagi, seperti yang tertulis dalam I Yoh. 1:9, karena itu cukup dilakukan sekali saja saat kita percaya kepada Kristus. Bilamana kita mengaku dosa pun, itu bukan supaya dosa kita diampuni melainkan karena dosa kita sudah diampuni.
  3. Konsekuensinya: Doa Bapa kami yang diajarkan oleh Yesus (Mat. 6:9-12) tidak relevan lagi diucapkan pada masa kini karena memuat kalimat, “... dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami telah mengampuni orang yang bersalah kepada kami."
  4. Hyper Grace juga mengajarkan bahwa pada saat lahir baru, Bapa memandang orang percaya sudah sempurna. Berarti pembenaran (justification), pengudusan (sanctification), dan pemulihan (glorification) adalah satu paket saat kelahiran baru.

Biblical Grace

  1. Saat kita percaya, seluruh dosa kita ditanggung Yesus di kayu salib (Ibr. 9:28). Yesus juga selalu menjadi pengantara pada Bapa yang menyediakan pengampunan dan pendamaian bagi orang percaya yang jatuh dalam dosa (1 Yoh. 2:1-2),
  2. Namun kita harus memintanya kepada Tuhan dengan mengaku dosa, mohon pengampunan-Nya (1 Yoh. 1:9) sehingga persekutuan dengan Tuhan dipulihkan (Mzm. 51:14).
  3. Karena itu Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus tetap relevan dipanjatkan oleh orang percaya di masa kini, tidak kadaluarsa, seperti yang dinyatakan para pengajar Hyper Grace.
  4. Kita juga percaya bahwa pembenaran (justification) harus dilanjutkan dengan proses penyucian (sanctification). Status sebagai orang kudus harus nampak dalam kehidupan yang kudus, seperti yang dicatat dalam I Kor. 1:2, “yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan dipanggil menjadi orang kudus”, hingga kita mengalami pemuliaan (glorification) atau kesempurnaan roh, jiwa, tubuh (1 Tes. 5:23). Kesemuanya terjadi karena kasih karunia Allah yang memampukan kita untuk mengerjakan keselamatan “Tetaplah kerjakan (Yun: katergazesthe = to work out, menyelesaikan sampai akhir) keselamatanmu dengan takut dan gentar ... karena Allahlah yang mengerjakan (Yun: energon, memberi energi) di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Fil. 2:12-13).
2.

Hyper Grace

  1. Kasih karunia adalah Pribadi (Yesus). Jadi inti ajaran Alkitab hanya kasih karunia.
  2. Iman tidak timbul dari mendengar firman atau seluruh Alkitab (karena itu termasuk hukum Taurat Musa, mis: Sepuluh Perintah Allah, yang tidak membangun iman). Iman hanya timbul dari mendengar firman Kristus (Rom. 10:17). Yang dimaksudkan adalah pengajaran yang telah disaring melalui kasih karunia dan karya Yesus yang sempurna.

Biblical Grace

  1. Kasih karunia adalah sifat Allah bukan pribadi, karena “pribadi” itu memiliki pengetahuan, perasaan dan kehendak. Kita menyembah pribadi Allah Tritunggal yang memberikan kasih karunia-Nya kepada orang percaya, kita tidak menyembah kasih karunia. Lagi pula dalam Yesus bukan hanya ada kasih karunia tapi juga kebenaran (Yoh. 1:17). Keduanya harus berjalan beriringan.
  2. Kita juga menerima Alkitab seutuhnya baik PL dan PB sebagai Firman Tuhan. Kita tidak boleh melihat Alkitab hanya dari sudut pandang kasih karunia saja (Bnd. Rom. 11:22 – kemurahan dan kekerasan-Nya), sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ajaran dan sikap ekstrem (mis: ada pengajar Hyper Grace yang menyatakan bahwa Allah selalu tersenyum kepada kita, bahkan ketika kita sedang berdosa). Alkitab itu komprehensif, jadi kita harus melihat yang sebagian dari yang keseluruhan dan bukannya melihat yang keseluruhan dari sebagian. Segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim. 3:16). Membedakan firman Tuhan dan firman Kristus sangat tidak berdasar!
3.

Hyper Grace

Roh Kudus tidak pernah menegur orang percaya akan kesalahan atau dosanya, karena dosa orang percaya sudah diampuni dan ditanggung Yesus. Rasa bersalah itu berasal dari diri sendiri atau dari si Iblis yang membuat kita merasa tidak layak untuk memasuki hadirat Tuhan.

Biblical Grace

Alkitab menunjukkan bahwa para rasul, Yesus, Roh Kudus, menegur orang percaya yang bersalah. Misalnya: Paulus menegur jemaat Korintus (I Kor. 3:1-3), Yesus menegur 7 (tujuh) jemaat di Asia kecil (kecuali Filadelfia) supaya bertobat (Why. 2-3). Teguran Yesus dan juga perkataan Roh Kudus kepada jemaat-jemaat harus didengarkan (Why. 2:7). Yesus juga menyatakan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah! (Why. 3:19). Hubungan orang yang dibenarkan dengan Allah adalah seperti hubungan bapa dan anak. Kasih Bapa kepada anak-anak-Nya tanpa syarat. Allah selalu mengasihi anak-anak-Nya, termasuk mendisiplinkan anak-anak-Nya agar bertumbuh dalam kekudusan (Ibr. 12:5-11).

4.

Hyper Grace

Perjanjian Baru yang intinya adalah kasih karunia dimulai setelah salib, pada saat Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta. Banyak perkataan Yesus dalam keempat Injil adalah ajaran Perjanjian Lama karena diucapkan sebelum salib, jadi sudah tidak berlaku di masa kini.

Biblical Grace

Kita percaya ketika Yesus datang ke dunia, kasih karunia Allah sudah dinyatakan secara jelas (Yoh. 3:16, Titus 2:11). Sebelum Yesus di salib pun Dia telah menunjukkan kasih-Nya dengan mengampuni dosa manusia yang percaya (Mrk. 2:10, Luk. 23:43). Kita yakin ajaran Yesus tetap berlaku hingga kini. Mengabaikan ajaran Yesus dan lebih menekankan surat-surat Paulus adalah bahaya besar karena memilah-milah Alkitab dan tidak menerimanya secara utuh.

5.

Hyper Grace

Hukum tabur tuai (Gal. 6:7) tidak berkaitan dengan dosa, karena semua dosa kita sudah ditanggung oleh Yesus. Ayat itu hanya berkaitan tentang uang. Siapa menabur sedikit, menuai sedikit, siapa menabur banyak, menuai banyak juga (2 Kor. 9:6).

Biblical Grace

Konteks dari Gal. 6:7-8 menunjukkan bahwa barangsiapa menabur dalam dagingnya akan menuai kebinasaan, tapi siapa yang menabur dalam Roh akan menuai hidup yang kekal. Ini tidak berbicara tentang uang.

6.

Hyper Grace

Hukum Taurat tidak berlaku lagi, karena sudah dihapuskan ketika Yesus di salib (Kol. 2:14). Kini kita tidak perlu lagi melakukan hukum Taurat (peraturan agama).

Biblical Grace

Perlu dipahami bahwa hukum Taurat itu dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian:

  1. Hukum ibadah, seperti yang tercatat dalam kitab Imamat, misalnya tentang korban domba untuk menghapus dosa. Ini sudah digenapi dalam diri Yesus, anak domba Allah. Yesus tidak meniadakan atau menguatkan Taurat, melainkan menggenapinya (Mat. 5:17, Kol. 2:16-17).
  2. Hukum sipil, misalnya aturan tentang perang, tanah, dll. Ini hanya untuk bangsa Israel saja di masa Perjanjian Lama sebagai kerajaan teokratis. Tapi kini sudah tidak berlaku lagi. Lagi pula kita bukan bangsa Israel secara jasmani.
  3. Hukum moral, yakni Sepuluh Perintah Tuhan. Ini tetap berlaku secara universal karena sesuai dengan karakter Allah yang kudus. Hanya motivasinya bila dalam PL karena takut akan hukuman Tuhan (jangan ini, jangan itu), dalam PB karena kita sudah beriman kepada Kristus maka saya tidak akan melakukan dosa ini dan itu. Berarti yang memotivasi adalah kasih. Sebetulnya Dasa Titah itu diawali dengan Injil: Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan (Kel. 20:1-17). Kini Allah meletakkan hukum moral itu di dalam hati orang percaya (Ibr. 8:10, 10:16). Kita yakin Kristus telah membebaskan kita dari hukum Taurat (Roma 6:14, 7:6) yakni belenggu legalisme, namun bukan berarti kita menjadi orang yang tidak berhukum (lawlessness). Kita telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran yang hidup dalam kekudusan (Rom. 6:18 19).
7.

Hyper Grace

Orang percaya tidak dapat melakukan dosa yang tidak dapat diampuni. Orang percaya tidak akan kehilangan keselamatannya. Sekali selamat tetap selamat.

Biblical Grace

Kita yakin keselamatan terjamin pasti jika kita tetap tinggal di dalam Kristus (Yoh. 15:5-6). Orang yang benar-benar lahir baru hampir mustahil kehilangan keselamatannya kecuali menghujat Roh Kudus (Luk. 12:10). Cirinya antara lain dijabarkan dalam Ibrani 6:4-6. Hati orang itu telah begitu keras sehingga tidak ada penyesalan karena penghujatannya kepada Kristus. Allah tidak mengampuninya karena orang itu tidak pernah minta pengampunan sampai selama-lamanya. Walaupun berbeda dengan pandangan Calvin yang mengajarkan “sekali selamat tetap selamat kita tetap menghargainya karena menyatakan bahwa orang yang telah lahir baru akan bertekun sampai akhir. Kontras sekali dengan pemahaman keliru dari sebagian pengikut Hyper Grace yang beranggapan bahwa “sekali selamat tetap selamat walaupun hidup dalam dosa” (berzinah, homoseksual, dll.). Para pengajar utama Hyper grace memang menyatakan bahwa hidup dalam kasih karunia bukanlah izin untuk berbuat dosa, namun aplikasi ajaran ini sangat berbahaya bila membuat pengikutnya beranggapan bahwa dalam Kristus kita sudah bebas dari semua hukum/peraturan agama dan sekali selamat tetap selamat. Kita yakin bahwa orang yang lahir baru tidak tetap berbuat dosa tapi hidup kudus. Yang tetap berbuat dosa berarti tidak mengenal Allah, tidak lahir baru (I Yoh. 3:6).

Kiranya Tuhan menyingkapkan mata rohani kita sehingga memahami ajaran kasih karunia yang Alkitabiah (Biblical grace).

Inti Sikap GBI tentang Kasih Karunia Alkitabiah

  1. GBI percaya bahwa kasih karunia (grace) dalam Yesus Kristus adalah inti ajaran Alkitab. Manusia diselamatkan bukan karena perbuatan baik tapi karena kasih karunia Allah yang diterima oleh iman, dan buah dari iman sejati adalah perbuatan baik (Ef. 2:8-10).
  2. Kasih karunia sejati bukanlah kasih karunia murahan yang menyebabkan orang nyaman ketika dia berbuat dosa. Hidup dalam kasih karunia tidaklah berarti bebas dari semua hukum atau aturan agama, yang dipahami sebagai sekali selamat tetap selamat walaupun hidup dalam dosa. Sejatinya orang yang sungguh-sungguh lahir baru tidak tetap hidup dalam dosa, melainkan hidup kudus. Yang tetap hidup dalam dosa berarti tidak lahir baru, tidak selamat (I Yoh. 3:6).
  3. GBI mendorong seluruh pejabat dan jemaat untuk bertekun dalam pengajaran yang sehat dengan meneliti kebenaran Alkitab, dan juga memperhatikan pengakuan iman GBI. Dengan demikian mampu menyelamatkan mereka yang telah menyimpang dari kebenaran dan kembali pada jalan Tuhan (Yak. 5:19-20).

Referensi