Hukuman mati (Teologia GBI)/Artikel 2016

Dari GBI Danau Bogor Raya
< Hukuman mati (Teologia GBI)
Revisi sejak 11 September 2020 07.10 oleh Leo (bicara | kontrib) (Leo memindahkan halaman Hukuman mati (Teologia GBI) ke Hukuman mati (Teologia GBI)/Artikel 2016)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari

Pada tanggal 29 Juli 2016, Departemen Teologia Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengeluarkan pandangan GBI tentang hukuman mati. Pandangan ini telah dibahas dan dirumuskan sebelumnya dalam pertemuan Forum Teolog GBI yang diadakan pada tanggal 30 Juni 2015 dan 28 Juni 2016, dan dihadiri oleh para teolog dan gembala sidang GBI.

Berikut adalah kutipan dari dokumen resmi departemen Teologia Gereja Bethel Indonesia nomor: 005/SXV/SK/TEOL/BPHGBI/VII/16, yaitu mengenai Pandangan GBI Terhadap Hukuman Mati.

Pandangan GBI tentang hukuman mati

A. Pendahuluan

Hukuman mati menjadi topik hangat yang menimbulkan perbedaan pandangan dari berbagai kalangan. Baik kelompok yang menolak hukuman mati maupun kelompok yang menerima hukuman mati, memiliki argumentasi masing-masing. Ada tiga pandangan dasar tentang hukuman mati, yaitu:

  1. Rehabilitasionisme, pandangan ini bertitik tolak pada pendapat bahwa tujuan keadilan adalah rehabilitasi (memperbaiki) dan bukan retribusi (nyawa diganti nyawa). Keadilan harus ditegakkan untuk korban dan pelaku, tetapi keadilan itu bersifat untuk merehabilitasi dan bukan untuk membalas. Penganut pandangan ini beranggapan bahwa sikap Yesus yang membebaskan perempuan yang kedapatan berzinah adalah bukti bahwa Tuhan Yesus menolak hukuman mati.
  2. Rekonstruksionisme, pandangan ini mengatakan bahwa hukuman mati harus diberikan kepada semua pelaku kejahatan besar seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama (pembunuhan, penculikan, sihir, bersetubuh dengan binatang dan sesama jenis kelamin, nabi palsu). Dasar pandangan ini adalah bahwa hukum moral yang diperintahkan oleh Musa masih tetap berlaku pada masa kini.
  3. Retribusionisme, pandangan ini mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk menghukum dan bukan untuk merehabilitasi (memperbaiki). Pandangan ini berpendapat bahwa hukuman mati adalah diperbolehkan untuk beberapa kejahatan besar yang mengakibatkan kematian kepada korban.

Ketiga pandangan di atas bila diterapkan dalam konteks masa kini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Sebagai Gereja yang berskala internasional, Gereja Bethel Indonesia perlu mengeluarkan pandangan tentang hukuman mati.

Karena itu dilakukan penelitian lebih seksama tentang pandangan Alkitab mengenai topik ini untuk mengambil sikap yang tepat sehingga bisa menjadi pegangan bagi seluruh jemaat dan pejabat Gereja Bethel Indonesia.

B. Pandangan Alkitab tentang hukuman mati

Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 21:12-36; 22:18-20; Imamat 20: 8-21; Ulangan 13:5) ada beberapa kejahatan yang harus dihukum dengan hukuman mati yaitu membunuh dengan sengaja, memukul atau mengutuki ayahnya dan ibunya, menculik orang lain, melakukan sihir, bersetubuh dengan binatang, mempersembahkan korban kepada allah lain, perzinahan, bersetubuh dengan perempuan yang sedang haid, melakukan hubungan sesama jenis, nabi palsu yang menyesatkan umat, serta kejahatan lainnya.

Perintah hukuman mati ini adalah perintah Tuhan yang diberikan kepada orang Israel melalui Musa. Namun jauh sebelum hukum Taurat diberikan, sebenarnya perintah hukuman mati itu sudah diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hukuman mati dijatuhkan kepada manusia yang membunuh sesamanya.

Dalam Kejadian 9:6 perintah hukuman mati itu berbunyi, "Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri." Jadi jelaslah bahwa pada zaman Perjanjian Lama, hukuman mati diperbolehkan.

Walaupun demikian, Allah juga menunjukkan kemurahan-Nya ketika harus menjatuhkan hukuman mati. Hal ini terlihat dalam kasus Daud ketika melakukan perzinahan dan pembunuhan namun Tuhan tidak menuntut nyawanya (2 Samuel 11:1-27; 12:3).

Disamping itu, PL jelas menyatakan sikap Tuhan dalam hukuman mati. Tuhan mengijinkan bahkan memerintahkan menumpas orang-orang yang menyembah berhala karena praktek keagamaan dan ritual mereka sangat keji dan najis.

Di masa PL sudah ada praktek pelacuran, sodomi dan homoseksual bukan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu tetapi dilegalkan menjadi ritual keagamaan dengan adanya pelacur bakti dan semburit bakti (Bilangan 23:17-18).

Mereka juga mempersembahkan anak manusia sebagai korban bakaran; bukan anak domba/anak lembu sapi. Kalau penyembah berhala dan praktek ritual mereka tidak ditumpas, akan ditiru dan merusak umat Tuhan sehingga Tuhan jauh dari umat-Nya (Hakim-Hakim 1).

Tuhan menganggap baik orang-orang yang membunuh/ menumpas pelaku-pelaku agama kafir yang sangat merusak, seperti dalam Keluaran 32:25-29, kasus lembu emas; Bilangan 25:1-15, kasus Baal-Peor.

Walaupun dalam PL ada hukum mata ganti mata sebagai hukum keadilan, tapi Tuhan memberi kesempatan untuk pelaku pembunuhan, khususnya yang tidak disengaja/tidak direncanakan untuk mendapat pengampunan atau proses hukum yang dilaksanakan pemerintah. Karena itu disediakan kota-kota perlindungan untuk memberi kesempatan bagi pembunuh tidak sengaja dapat menjalani proses hukum (Keluaran 21:24-25).

Dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengutip hukum Taurat tentang larangan membunuh dalam khotbah di bukit. Untuk itu Tuhan mengingatkan bahwa sebelum tindakan membunuh terjadi, sudah terlebih dahulu muncul gejala seperti marah, dan lain-lain, dan itu harus dicegah sebagai tindakan preventif. Tuhan Yesus pernah dihadapkan dengan seorang perempuan yang kedapatan berzinah.

Ahli Taurat dan orang Farisi menuntut supaya wanita itu dihukum mati karena Hukum Taurat mengatur bahwa jika seorang wanita atau pria kedapatan berbuat zinah maka pelaku zinah itu harus dirajam dengan batu hingga mati (Ulangan 22:23-24).

Tetapi kenyataannya Yesus melepaskan perempuan itu dan tidak menghukumnya. Sikap Yesus ini sering disalahtafsirkan oleh kelompok yang menolak hukuman mati bahwa Yesus juga menolak hukuman mati. Fakta Yesus tidak menghukum mati wanita itu bukan bukti bahwa Yesus menolak hukuman mati.

Sebab konteksnya pada waktu itu adalah Yesus ingin mengajarkan bahwa semua manusia adalah manusia yang berdosa dan tidak layak untuk menghakimi sesamanya (Yohanes 8:7; Matius 7:1-5). Yesus sendiri tidak menolak hukuman mati. Ini terlihat dari sikap-Nya ketika Dia dijatuhi hukuman mati di kayu salib.

Dia tidak melakukan tindakan pembangkangan atas hukuman yang dijatuhkan kepada-Nya dan dengan rela Dia menerima hukuman-Nya itu. Keempat penulis Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) mencatat hukuman mati yang dijatuhkan kepada Tuhan Yesus dan kepada dua penjahat besar yang dihukum mati melalui penyaliban diputuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang sah yaitu kekaisaran Romawi.

Dengan ditulisnya peristiwa itu memberi indikasi bahwa gereja mula-mula menerima hukuman mati sebagai hukum yang sah bila dilaksanakan oleh pemerintah yang berlaku. Hal itu dikuatkan pernyataan rasuli dalam Roma 13; 1 Petrus 2:13-14; Ibrani 11:37.

Bahkan pemerintah yang menjalankan hukum keadilan termasuk hukuman mati (diwakili frasa…menyandang pedang…) dinilai sebagai hamba Allah. Kematian Ananias dan Safira karena mendustai Roh Kudus juga dianggap sebagai hal yang pantas. Paulus menyatakan sikap yang sama terhadap hukuman mati ketika dia dengan tegas berkata bahwa dia rela menerima hukuman mati kalau memang dia bersalah (Kisah Para Rasul 25:11).

Roma 13:4 berkata, "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.”

Ayat ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki hak untuk melaksanakan hukuman mati, khususnya untuk kejahatan yang luar biasa. Namun keputusannya tidak boleh dijatuhkan oleh perseorangan berdasarkan pertimbangan pribadi, seperti yang bisa terjadi misalnya pada pemerintahan diktator.

Pemerintah dalam pelaksanaan hukuman mati harus melalui proses peradilan yang diatur oleh hukum yang obyektif dan pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga negara, walaupun tak bisa dipungkiri lembaga manusia bisa saja membuat keputusan yang salah. Karena itu hukumannya harus terus menerus ditinjau ulang agar semakin adil dan tidak ada hak siapapun yang dilanggar.

Pada intinya hukuman seyogyanya tidak dilaksanakan dengan motivasi balas dendam atau kebencian. Adanya hukum Taurat “Jangan membunuh” (PL), dalam hukum Kasih (PB) menunjukkan bahwa hukuman mati bukan jalan satu-satunya.

Orang yang melakukan kejahatan harus dihukum, namun hukuman itu seharusnya bersifat merehabilitasi/ memperbaiki sehingga sedapat mungkin hukuman mati dihindari (misalnya bisa diganti menjadi hukuman seumur hidup), namun kemungkinan untuk dilakukannya hukuman mati betapapun kecil harus tetap dibukakan, terutama untuk kejahatan luar biasa.

C. Pandangan GBI tentang hukuman mati

Berdasarkan uraian di atas maka GBI berpendapat:

  1. Manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26) dan memiliki hak hidup seperti yang diberikan Allah kepadanya.
  2. Hidup manusia berada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang berkuasa untuk memberi hidup dan Tuhan jugalah yang berkuasa mengambil hidup manusia (Mazmur 90:3; 1 Samuel 2:6).
  3. Tuhan memberikan kuasa kepada pemerintah untuk menjalankan hukuman mati kepada pelaku kejahatan (Roma 13:4). Tidak ada seorang manusia pun yang memiliki hak untuk mengambil hidup manusia lain. Hanya pemerintah yang diberikan kuasa oleh Tuhan untuk melakukannya.
  4. Hukuman mati sedapat mungkin dihindari, namun dalam kasus yang sangat luar biasa hal itu dapat dilakukan. Bilamana hukuman mati terpaksa dijatuhkan, itu harus berdasarkan penghargaan yang tinggi kepada keadilan dan kemanusiaan.

Keadilan harus diterima baik oleh pelaku maupun oleh korban. Hukuman mati diberikan supaya hak hidup orang yang tak bersalah dilindungi. Dengan memberlakukan hukuman mati maka akan menimbulkan rasa takut dalam hati orang lain yang merupakan calon pelaku kejahatan lainnya sehingga mencegah terulangnya terjadinya kejahatan.

Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa hukuman mati bukanlah sebuah tindakan pembalasan dendam kepada pelaku kejahatan, tapi sikap tegas dan tidak kompromi terhadap dosa. Hukuman mati merupakan sebuah upaya untuk melindungi kehidupan umat manusia yang lebih luas dan mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan besar lainnya.

Tim perumus:

Pdt. Dr. Japarlin Marbun, Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham, Pdt. Hengky So, M.Th., Pdt. Dr. Jonathan Trisna, Pdt. Thomas Bimo, MTh, Pdt. Dr. Abraham B. Lalamentik, Pdt. Dr. Junifrius Gultom, Pdt. Christianto PB Silitonga.

Referensi

Lihat pula