Berinvestasi sebagai bagian dari tindakan iman

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 22 November 2022 17.15 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "| illustration16x9 = Renungan Khusus 2022.jpg↵| illustration1x1 = Renungan Khusus 2022-1x1.jpg↵" menjadi "| illustration16x9= Renungan Khusus 2019.jpg | illustration1x1= Renungan Khusus 2019-1x1.jpg")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal11 September 2022
Penulis‑1Pdp Willy Pandi, BSc, MTh
Penulis‑2Pdp Rudy Yulianto Limuria, MA, CFP
Sebelumnya
Selanjutnya

Pernahkah kita sebagai orang percaya mendengar selentingan ucapan atau pernyataan yang mengatakan bahwa jika kita menabung atau berinvestasi, itu artinya kita tidak mempunyai iman kepada Tuhan; lebih mengandalkan kekuatan sendiri daripada pemeliharaan Tuhan. Bahkan Firman Tuhan pun dikutip:

“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:34)

Sama halnya dengan pernyataan bahwa dengan memiliki asuransi jiwa/kesehatan, artinya kita tidak percaya akan pemeliharaan Tuhan. Apakah benar ayat tersebut dapat diartikan demikian? Mari kita sama-sama melihat apa yang Firman Tuhan katakan tentang prinsip berinvestasi.

Pertama-tama, kita perlu memahami dahulu apakah arti dari kata ‘investasi’. Menurut KBBI, investasi adalah “penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan”. Selanjutnya, kita akan bersama-sama melihat konteks daripada Matius 6:34 ini, di mana ayat ini adalah bagian dari perikop yang berjudul “Hal Kekuatiran”. Di bagian ini, Tuhan Yesus sedang mengajarkan para pendengar agar tidak memusatkan hidup kepada perkara makan, minum, atau pakaian yang dapat menimbulkan kekuatiran hidup, karena Allah sanggup menyediakan semuanya itu. Sehingga yang terpenting adalah mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ayat ini sama sekali tidaklah berhubungan dengan ada atau tidaknya tindakan iman agar dapat merasakan pemeliharaan Tuhan.

Tuhan Yesus sendiri mengajarkan di dalam Lukas 14:24,

“Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?”

Dari ayat ini, sangatlah jelas bahwa bahkan Tuhan Yesus pun mengajarkan para pendengarnya tentang membuat budget sebagai bentuk antisipasi terhadap hal-hal ke depan yang sifatnya belum pasti. Hal ini disebut sebagai calculated risk atau resiko terukur. Investasi adalah suatu bentuk antisipasi di mana diharapkan ada keuntungan pada suatu saat yang dapat dipakai untuk suatu keperluan di masa mendatang.

Mari kita sama-sama lihat apa yang Firman Tuhan ajarkan tentang prinsip berinvestasi:

  1. Berinvestasi membuat kita menjadi pengelola yang setia dengan tujuan melipatgandakan talentanya (Matius 25:14-30)
  2. Hal pertama yang harus kita ketahui dan ingat adalah bahwa harta yang kita miliki saat ini, sebenarnya adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita. (Hagai 2:9)

    Jikalau kita sudah memiliki pengertian ini, maka kita harusnya menyadari bahwa tugas kita adalah mengelola apa yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut. Setiap proses pengelolaan harta, di dalam bahasa saat ini, disebut investasi. Dalam konteks ini, investasi yang dimaksud bisa dilakukan lewat beragam jenis instrumen seperti saham, surat hutang, properti, bahkan bisnis.

    Menilik ulang dari pengertian kata ‘investasi’ sesuai KBBI, tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan. Tentu hal ini dilakukan dengan sebelumnya melakukan riset terhadap instrumen investasi yang akan kita pakai, sehingga investasi ini tidak bersifat spekulatif karena ada dasar yang jelas mengapa kita melakukan investasi melalui suatu instrumen tersebut.

  3. Dengan berinvestasi, kita dapat menjadi saluran berkat untuk sesama dan gereja Tuhan (2 Korintus 9:7,11; Maleakhi 3:10; Amsal 3:9)
  4. Sebagai orang percaya, kita juga disebut sebagai keturunan Abraham dan dengan demikian karena itu kita berhak menerima janji Allah (Galatia 3:29). Abraham dipanggil Allah keluar dari Ur-Kasdim untuk menjadi bangsa yang besar, menerima berkat Tuhan, dan dengan demikian menjadi berkat untuk orang-orang di sekelilingnya. (Kejadian 12:2)

    Janji Allah kepada Abraham yaitu bahwa ia akan diberkati, diberikan bersamaan dengan janji bahwa ia juga akan menjadi berkat. Dari kisah ini, kita melihat bahwa sebagai orang percaya sudah seharusnya kita menjadi saluran berkat untuk sesama, apalagi untuk gereja Tuhan. Keuntungan yang kita dapatkan dari hasil berinvestasi dapat disisihkan sebagian sehingga kita dapat “membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Efesus 4:27).

    Dengan demikian, kita pun dikatakan memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9), yaitu saat kita bisa menolong sesama kita dengan apa yang kita miliki.

  5. Mengambil peran dalam rencana Allah (Kejadian 45:9-11; 1 Timotius 5:8)
  6. Kita tidak mungkin lupa dengan kisah Yusuf di tanah Mesir. Ia diangkat menjadi penguasa tertinggi kedua di Mesir setelah Firaun karena ia mengartikan mimpi Firaun tentang tujuh tahun masa kelimpahan dan tujuh tahun masa kekeringan yang melanda seluruh dunia. Yusuf menimbun segala bahan makanan selama tujuh tahun kelimpahan, agar di tujuh tahun masa kekeringan, Mesir tetap memiliki persediaan makanan. Bahkan dikatakan:

    “dari seluruh bumi datanglah orang ke Mesir untuk membeli gandum dari Yusuf, sebab hebat kelaparan itu di seluruh bumi.” (Kejadian 41:57)

    Apa yang Yusuf lakukan itu adalah suatu bentuk investasi, di mana pada tujuh tahun masa kekeringan, orang-orang datang kepadanya untuk membeli gandum yang sudah disimpan sejak tujuh tahun masa kelimpahan sebelumnya. Dengan melakukan ini, Yusuf pun mengambil peran dalam rencana Allah “untuk menjamin kelanjutan keturunan” Yakub di bumi ini. (Kejadian 45:7)

    Investasi Yusuf adalah suatu bentuk antisipasi terhadap suatu kejadian yang terjadi secara tidak terduga di masa mendatang.

Pertanyaan selanjutnya: bagaimana jika setelah bertahun-tahun melakukan investasi, target keuntungan yang kita dapatkan belum sesuai? Apa yang harus kita lakukan? Kita harus kembali ke prinsip bahwa semua harta itu milik Tuhan, sehingga kita sebaik-baiknya melakukan pengelolaan akan apa yang dipercayakan oleh Tuhan. Caranya adalah dengan terutama melakukan riset atau studi secara menyeluruh dan sungguh-sungguh terhadap instrumen investasi yang akan kita gunakan. Jika hal itu telah kita lakukan, maka resiko kehilangan nilai investasi lebih dapat kita minimalisir.

Seandainya setelah kurun waktu tertentu pun target keuntungan yang kita harapkan belum tercapai, entah karena faktor-faktor eksternal seperti faktor makroekonomi, maka kita tidak boleh berpatah arang karena apa yang kita lakukan bukanlah suatu perjudian berdasarkan spekulasi semata. Karena masih lebih baik jika kita mengelola apa yang dipercayakan Tuhan, namun hasilnya kurang memuaskan, daripada kita tidak melakukan apa-apa. Di sinilah iman kita diuji, apakah kita tetap setia kepada Tuhan, meskipun keadaan kita tidak sesuai yang kita harapkan.

Dari pemaparan prinsip-prinsip Alkitab tentang berinvestasi di atas, maka dapat kita simpulkan bersama bahwa berinvestasi adalah suatu bagian dari tindakan iman karena kita mengelola apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Oleh sebab itu, kita perlu hikmat Tuhan untuk mengusahakan yang terbaik dalam melakukan investasi.

Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi ‘garam dan terang dunia’ (Matius 5:13-16), artinya kita harus menjadi berkat di mana pun kita ditempatkan. Saat kita berinvestasi, itu harus berdasarkan tujuan dari Pemilik harta itu sesungguhnya, yaitu untuk menjadi berkat bagi sesama. Jangan pernah kita mengejar kekayaan duniawi, tetapi kita harus mengejar kepercayaan Tuhan sebagai Pemilik harta tersebut. (WP/RL)

Pernahkah kita sebagai orang percaya mendengar selentingan ucapan atau pernyataan yang mengatakan bahwa jika kita menabung atau berinvestasi, itu artinya kita tidak mempunyai iman kepada Tuhan; lebih mengandalkan kekuatan sendiri daripada pemeliharaan Tuhan. Bahkan Firman Tuhan pun dikutip: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:34)