Bisa hidup kudus karena Allah telah menguduskan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 12 Juli 2022 14.40 oleh Leo (bicara | kontrib) (baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari

“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Efesus 1:3)

Ketika orang rindu untuk mengalami sesuatu yang baik dalam kehidupannya, kebanyakan mereka mencari langkah-langkah atau metode yang praktis untuk dilakukan. Untuk mengalami berkat Tuhan yang melimpah, misalnya, orang cenderung untuk mencari ‘rumus menjadi kaya seperti Salomo’. Supaya bisa hidup kudus, orang akan mencari resep seperti ‘langkah menuju kekudusan’. Tidak mengherankan kalau content dengan tema-tema seperti itu memiliki viewers yang banyak.

Sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini. Orang tentu perlu ‘take action’, seperti kata Alkitab:

“iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26)

Akan tetapi, ini bisa menandakan bahwa orang ingin mewujudkan segala sesuatu dengan cepat, instan, tanpa perlu banyak berpikir atau merenung. Tanpa disadari, ini mungkin menjadi sebuah penanda bahwa orang terlalu fokus dengan apa yang dia bisa dan harus lakukan. Dalam istilah Alkitab, ini biasa disebut dengan ‘mengandalkan kekuatannya sendiri’. (Yeremia 17:5)

Bagaimana anak-anak Tuhan seharusnya mewujudkan hal-hal yang baik dalam hidupnya sesuai dengan paradigma Alkitabiah? Mari kita mengambil hidup kudus sebagai contoh.

Ketika orang mengingatkan sesamanya untuk hidup kudus dengan mengutip, Kuduslah kamu, sebab Aku [Tuhan] kudus (1 Petrus 1:16), seringkali orang yang diingatkan berpikir: "Bagaimana mungkin saya bisa seperti Allah yang kudus?"

Hidup kudus seolah-olah menjadi sesuatu yang baik untuk dipercakapkan namun hampir mustahil untuk dilakukan. Benarkah demikian? Mari kita membaca Firman Tuhan dalam 1 Petrus 1 secara utuh. Kita akan menemukan sebelum Allah Bapa meminta “kuduslah kamu”, Ia

“karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. ” (1 Petrus 1:3-4)

Ternyata Petrus menyerukan hidup kudus setelah jemaat diingatkan apa yang Allah Bapa telah lakukan buat mereka di dalam Kristus, yaitu melahirkan mereka kembali untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat cemar. Perintah untuk hidup kudus bisa dilakukan karena terlebih dulu Allah telah menguduskan kita.

“Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” (1 Korintus 1:30)

Mengapa pada kenyataannya orang sering merasa sulit untuk hidup kudus? Berdasarkan pemahaman yang telah dibahas sebelumnya, sulitnya hidup kudus terjadi karena seringkali orang lupa bahwa Tuhan terlebih dahulu telah menguduskan mereka. Dapat kita simpulkan bahwa untuk mewujudkan segala sesuatu harus dimulai dengan ‘apa yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita’, sebelum ‘apa yang kita akan kerjakan’. Prioritas utama adalah ‘being’, yaitu identitas kita “di dalam Kristus”; baru setelah itu ‘doing’, yaitu apa yang sebaiknya kita kerjakan sesuai dengan identitas tersebut, apa langkah-langkah yang harus diambil.

Kita tidak mungkin melakukan sesuatu dalam hidup kita yang sebelumnya Tuhan belum kerjakan atas kita. Rasul Paulus adalah alat di tangan Tuhan yang menyadarkan orang percaya akan realitas hidup ‘di dalam Kristus’ ini. Ungkapan ‘di dalam Kristus’ atau yang sejenisnya muncul tidak kurang dari 164 kali dalam tulisan Paulus.[1] Ini berarti, kesadaran atau cara pandang bahwa kita ada ‘di dalam Kristus’ adalah sesuatu yang sangat penting menurut Firman Tuhan. Mari kita hidup dengan paradigma ini!

Apa yang akan terjadi apabila anak-anak Tuhan memakai paradigma ini dalam hidupnya? Orang yang memiliki paradigma bahwa ia telah dikuduskan, atau telah dijadikan orang kudus oleh Yesus, tidak akan berkata dalam hatinya ‘betapa sulitnya hidup kudus, betapa gampangnya berbuat dosa’. Ini adalah paradigma yang lama. Sebaliknya, ia akan berkata dalam hatinya: “Saya ini orang kudus, karenanya saya mencintai dan memilih perbuatan yang kudus." Inilah paradigma yang baru! Ini tentu bukan berarti hidup kudus bisa dilakukan tanpa upaya atau perjuangan kita sama sekali. Akan tetapi, ada perbedaan besar antara upaya hidup kudus yang dilakukan dengan kekuatan sendiri dengan upaya yang dilakukan dengan kesadaran bahwa seseorang telah dikuduskan.

Ada kisah menarik yang bisa menggambarkan kebenaran ini.[2] Ingwer Ludwig Nommensen, atau yang lebih dikenal sebagai Opung Nommensen, datang ke Sumatera di abad ke-19 untuk memberitakan Injil kepada suku-suku Batak. Suatu ketika seorang kepala suku menyambut Nommensen dan berkata, “Anda punya waktu dua tahun untuk mempelajari adat kami dan untuk meyakinkan kami bahwa Anda membawa pesan yang layak untuk kami dengar.” Setelah dua tahun berlalu, si kepala suku bertanya kepada Nommensen bagaimana Kekristenan berbeda dari aturan moral dan tradisi yang mereka anut.

"Kami sudah tahu apa yang benar,” ucap si kepala suku. "Kami juga memiliki hukum-hukum yang melarang kami mencuri, atau mengambil isteri sesama, atau berbohong."

Nommensen menjawab, “Itu benar adanya. Tapi Allahku memberikan kemampuan untuk menaati hukum-hukum tersebut.”

Hal ini mengagetkan si kepala suku. “Bisakah engkau mengajari orang-orangku untuk hidup lebih baik?

Tidak, saya tidak bisa,” jawab Nommensen. “Tapi kalau mereka menerima Yesus Kristus, Allah akan memberikan mereka kekuatan untuk melakukan apa yang benar.”

Si kepala suku kemudian mengundang Nommensen untuk tinggal selama enam bulan. Dalam kurun waktu itu, Nommensen memberitakan Injil dan mengajar orang-orang di kampung tentang bagaimana Roh Kudus bekerja dalam kehidupan orang Kristen. “Kamu boleh tinggal selama yang kamu suka,” ujar si kepala suku. “Agamamu lebih baik dari agama kami, karena Allahmu berjalan bersama manusia dan memberikan mereka kekuatan untuk melakukan hal-hal yang Ia minta.

Haleluya! Paradigma tentang apa yang Allah telah lakukan buat kita menentukan apa yang kita akan kerjakan dalam hidup kita.

A high view of God leads to high worship and holy living, but a low of God leads to trivial worship and low living.” (Pandangan yang tinggi tentang Allah akan menghasilkan penyembahan yang tinggi dan kehidupan kudus, tapi pandangan yang rendah tentang Allah akan menghasilkan penyembahan pura-pura dan kehidupan bermoral rendah) - Steven J Lawson. (HT)

Referensi

  1. ^ Reid JKS. The Phrase “In Christ.” Theology Today. 1960;17(3):353-365. doi:10.1177/004057366001700309
  2. ^ https://www.sermoncentral.com/sermon-illustrations/101409/holy-spirit-by-sermon-central, diakses 20 Juni 2022.