Bolehkah orang Kristen berutang?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 7 Januari 2022 07.26 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Background 2021 The Year of Integrity.jpgBackground 2021 The Year of Integrity.jpg
Renungan khusus
Tanggal28 November 2021
Penulis‑1Pdp Rudi Julianto Limuria, MA, CFP
Penulis‑2Pdp Dio Angga Pradipta, MTh
Voice of PentecostVoice of Pentecost 67 (Catherine Nathania Bunjamin)
Sebelumnya
Selanjutnya

Hari ini kita akan membahas isu: “Bolehkah orang Kristen berutang?” Kita sering mendengar penawaran yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Dengan pinjaman online …, semua kebutuhan mendesak Anda dapat dengan mudah dan cepat teratasi. Pengajuannya mudah, persyaratannya ringan dan yang paling penting pencairannya cepat.”

Penawaran tersebut sedang marak akhir-akhir ini di berbagai situs pinjaman online, yang menawarkan pinjaman bagi yang membutuhkan dana dalam waktu singkat, dan ternyata banyak orang menjadi tertarik untuk meminjam uang, karena kemudahan yang ditawarkan. Tetapi berapa banyak yang mendengar masalah dan isu negatif yang kerap menyertai pinjaman online tersebut? Lalu apa kata Alkitab tentang konsep berutang ini?

Paulus mengajarkan dalam Roma 13:8,

“Janganlah kamu berhutang apa-apa terhadap siapa pun juga…”

Hal ini dipahami oleh sebagian orang Kristen bahwa dilarang sama sekali untuk berutang atau mengambil pinjaman di lembaga yang resmi. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (APHB) bagus sekali dalam menjelaskan bahwa orang percaya boleh meminjam untuk keperluan yang serius, tetapi jangan berutang untuk hal-hal yang tidak perlu dan menunjukkan sikap ketidakacuhan dalam membayar kembali utang itu.

Dalam salah satu komentari dijelaskan bahwa yang dimaksudkan oleh Paulus adalah tidak boleh ada utang yang dibiarkan terbuka tanpa ada niatan untuk mengembalikan. Karena hal ini juga tidak didasari atas kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Justru orang yang mengasihi sesama akan mengembalikan uang yang dipinjamnya itu.

Di sini, kita melihat adanya perbedaan perspektif terhadap utang dari kacamata orang fasik dan orang benar. Mazmur 37:21 menjelaskan,

“Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar adalah pengasih dan pemurah”.

Orang fasik meminjam dengan tidak ada niatan untuk membayar balik; lain halnya dengan orang benar yang digambarkan sebagai orang yang pemurah dalam memberi pinjaman. Tetapi ayat ini jangan disalahtafsirkan bahwa kalau meminjam kepada sesama orang seiman tidak perlu dikembalikan. Justru orang yang hidupnya dituntun oleh Roh Kudus pasti akan mengembalikan secara penuh apa yang dipinjam itu.

Konsep kedua mengenai utang, kita belajar dari perumpamaan Yesus di dalam Matius 18:21-35. Yesus berkata ada seorang hamba yang berutang 10.000 talenta. Itu sama dengan upah bekerja selama 200.000 tahun. Dia tidak mampu membayar dan memohon kepada raja untuk diampuni. Singkat cerita, raja tersebut mengampuni orang itu. Tetapi di sisi lain hamba itu tidak rela membebaskan utang temannya yang berutang kepadanya sebanyak 100 dinar atau setara dengan upah 4 bulan kerja. Malahan temannya dijebloskan ke dalam penjara sampai bisa membayar utangnya. Apa yang Yesus ingin ajarkan kepada kita adalah konsep mengampuni dan mengasihi sesama sebagaimana Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita.

Yesus menggambarkan motivasi dan alasan kenapa kita harus mengampuni orang lain yaitu, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita, dan menghapuskan utang yang selama-lamanya tidak mungkin dapat kita bayar. Yesus membayar dengan lunas seluruh hidup kita, maka sudah sepatutnya kita menghidupi kehidupan ini dengan perasaan “berutang budi” kepada Tuhan. Kita ekspresikan ucapan syukur dengan mengasihi dan mengampuni sesama – dan ini akan terus berlangsung sebagai penggenapan kasih Kristus dalam hidup kita.

Dalam Kisah Para Rasul 20:35, justru gaya hidup orang percaya diminta untuk menjadi berkat bagi sesama, di mana lebih berbahagia memberi daripada menerima. Dan dalam konteks saat kita meminjam, maka harus diusahakan untuk bisa mengembalikan utang tersebut sepenuhnya, seperti yang tertulis dalam Roma 13:7. Sehingga, hidup dengan memegang janji atau komitmen untuk memenuhi kewajiban, bahkan sebuah nazar, adalah gaya hidup yang Tuhan inginkan dari kita sebagai orang yang memiliki integritas.

Memang Alkitab tidak memberikan panduan praktis dan eksplisit mengenai boleh atau tidaknya berutang, tetapi dari ayat-ayat di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan penting:

  1. Orang Kristen boleh meminjam uang selama memiliki niatan dan kemampuan untuk bisa mengembalikan pinjaman tersebut. Apabila meminjam kepada bank, maka perlu diperhatikan rasio pendapatan bulanan dengan besaran pinjaman yang diambil beserta dengan bunganya.
  2. Meminjam uang atau berutang tidak boleh untuk hal-hal yang konsumtif apalagi sebagai gaya hidup, karena orang Kristen justru memiliki etos “lebih baik memberi daripada menerima”.
  3. Terakhir adalah perlu diperhatikan dari lembaga mana kita mengambil pinjaman tersebut, apakah sudah terdaftar di OJK sebagai lembaga pengawas yang resmi atau tidak.

(RL-DAP)

Hari ini kita akan membahas isu: “Bolehkah orang Kristen berutang?” Kita sering mendengar penawaran yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Dengan pinjaman online …, semua kebutuhan mendesak Anda dapat dengan mudah dan cepat teratasi. Pengajuannya mudah, persyaratannya ringan dan yang paling penting pencairannya cepat.”