Warisan rohani

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 10 Juni 2021 11.56 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo Voice of Pentecost 16x9.pngLogo Voice of Pentecost 16x9.png
Renungan khusus
Tanggal06 Juni 2021
PenulisPdm Budi Muljono, MTh
Voice of PentecostVoice of Pentecost 48 (Bhenaya Abednego)
Sebelumnya
Selanjutnya

Dalam perlombaan lari estafet, selain kecepatan berlari dari setiap anggota tim, hal yang krusial adalah proses perpindahan tongkat estafet dari satu pelari ke pelari berikutnya. Kegagalan dalam proses ini bisa menyebabkan kekalahan dalam keseluruhan pertandingan. Dalam kehidupan, hal ini berlaku juga ketika terjadi perpindahan kehidupan dari generasi ke generasi. Kegagalan orang tua dalam meneruskan “warisan rohani” kepada anak-anaknya menyebabkan kesulitan bahkan kegagalan bagi generasi berikutnya.

Generasi baru membutuhkan pijakan yang kuat sebagai langkah awal kehidupan mereka dan hal ini seharusnya didapat dari generasi sebelumnya. Bila orang tua tidak mengerti dengan baik apa yang menjadi peran dan tanggung jawabnya, bagaimana mungkin seorang anak dapat memaksimalkan potensi dalam dirinya dan menggenapi rencana Allah. Peran orang tua sangat menentukan keberadaan seorang anak di kemudian hari.[1]

Sebagai orang tua, kita harus selalu memandang jauh ke depan ke masa depan anak-anak kita dan masa depan anak-anak mereka.[2] Amsal 13:22a, "Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya …" mengajarkan bahwa harus ada warisan yang diberikan bagi anak cucu. Yang dimaksud tentu bukan warisan harta kekayaan tetapi warisan nilai-nilai kehidupan yang membentuk dan mengajar anak-anak untuk hidup benar di hadapan Tuhan.

Kegagalan imam Eli dalam mendidik anak-anaknya dan keberhasilan Hana menjadikan Samuel muda terpilih menjadi imam merupakan contoh yang tegas yang Alkitab berikan kepada umat-Nya. Kehidupan Samuel yang berkenan kepada Tuhan serta Hofni dan Pinehas yang berdosa di hadapan Tuhan, mengajarkan pentingnya mewariskan kehidupan rohani dengan nilai Kerajaan Allah dari generasi ke generasi. Di tengah serbuan teknologi informasi yang semakin berkembang pesat yang memungkinkan generasi sekarang ini menerima segala jenis informasi dari yang terbaik sampai yang terburuk, seharusnya mereka diperlengkapi dari sejak dini dengan “filter” nilai-nilai Kerajaan Allah dan kebenarannya.

Warisan rohani

Beberapa warisan rohani yang seharusnya didapat oleh seorang anak adalah:

#1 Keteladanan dalam beribadah dan melayani Tuhan (1 Petrus 2:9)

Sejak kecil Samuel sudah berada dalam lingkungan Bait Allah dan terbiasa mengenakan jubah dan baju efod dari kain lenan yang dibuatkan ibunya. 1 Samuel 2:19 mencatat setiap tahun secara rutin ibunya memberikan jubah imam kepada anaknya. Gambaran kesetiaan dan kesungguhan dari seorang ibu yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi seorang pelayan Tuhan. Hasilnya adalah Tuhan justru memilih Samuel menjadi imam dibandingkan dengan kedua anak imam Eli sendiri yang hidup dalam dosa.

1 Samuel 2:26 mencatat bahwa Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia. Samuel mendapat pijakan untuk langkah awalnya sebagai seorang imam melalui kesetiaan ibunya sedangkan Hofni dan Pinehas kehilangan pijakan itu dikarenakan sikap ayahnya yang hanya mempedulikan jabatan dan fasilitas sebagai imam serta menghormati anak-anaknya lebih dari menghormati Tuhan (1 Samuel 2:29).

Demikian juga Yusuf dan Maria setiap tahun pergi ke Yerusalem pada hari Paskah (Lukas 2:41) dan membawa Yesus. Kesetiaan dan kesungguhan orang tua dalam ibadahnya (waktu-waktu persekutuan dengan Tuhan secara pribadi dan korporat) menjadi teladan hidup dan membentuk nilai-nilai rohani bagi anak-anaknya. Orang tua yang tekun berdoa, tekun membaca Alkitab dan setia melayani Tuhan menjadi contoh yang akan ditiru oleh anak-anaknya. Menjadi teladan adalah inti dari menolong anak-anak untuk berkembang secara rohani.[3]

Anak-anak mengamati kita ketika kita sama sekali tidak menyadarinya, mencatat dalam pikiran dan hati mereka setiap rinci dari sikap dan tindakan kita.[4] Seringkali teladan dalam hal beribadah jauh lebih efektif dibandingkan dengan perintah untuk beribadah. Paulus juga menekankan kepada anak rohaninya yaitu Timotius bahwa iman yang tulus ikhlas yang dimiliki Timotius adalah iman yang sama yang hidup dalam diri neneknya, Lois, dan dalam ibunya, Eunike (2 Timotius 1:5). Orang tua harus hidup dalam kebenaran dan iman untuk bisa mewariskan hal-hal rohani kepada anak-anaknya. Orang tua jangan hanya menyuruh anak berdoa dan membaca Alkitab setiap hari, tapi jadilah teladan dalam berdoa dan membaca Alkitab setiap hari.

#2 Ketaatan kepada Tuhan dan tidak berkompromi dengan dosa dan kecemaran (hidup yang berintegritas)

Bukan saja anak-anak harus belajar menanggapi suara Allah, tetapi mereka pertama-tama harus belajar menanggapi suara orang tua mereka.[5] Tuhan mengajar umat Israel melalui Yeremia dengan sebuah contoh dari kehidupan kaum orang Rekhab (Yeremia 35:1-2). Kaum orang Rekhab menolak anggur pemberian Yeremia karena setia kepada perintah Yonadab bin Rekhab, bapa leluhur mereka, yang memerintahkan untuk tidak minum anggur sampai selama-lamanya (Yeremia 35:6, 8, 16) dan Tuhan memberikan janji-Nya bahwa keturunan Yonadab bin Rekhab tidak akan terputus melayani Tuhan sepanjang masa (Yeremia 35:19).

Kekudusan hidup dan menjauhkan diri dari kecemaran dan dosa adalah bukti kesetiaan seseorang kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya menyelamatkan tetapi juga Dia menguduskan kita melalui karya Roh Kudus untuk menjadikan kita menjadi umat yang layak bagi-Nya (Lukas 1:17).

Teladan kekudusan ini haruslah bisa dicontoh oleh seorang anak dari orang tuanya. Di tengah dunia yang semakin rusak dan menuju kepada kehancurannya, umat Tuhan harus berani “memisahkan diri” dalam kekudusan yang semakin meningkat hari demi hari (Wahyu 22:11). Dunia menawarkan segala kemegahan dan kenikmatannya seperti yang ditawarkan Iblis kepada Yesus dalam pencobaan di padang gurun. Sama seperti Yesus yang menolak kemegahan dunia tetapi memilih salib dan penderitaan, demikian umat Tuhan harus berani memilih untuk membayar harga dalam pengudusan daripada menikmati dosa dalam kehidupannya.

Memilih untuk hidup dalam ketaatan dan menjauhkan diri dari dosa memang membutuhkan harga yang harus dibayar. Kualitas Kekristenan seseorang dicapai dengan perjuangannya melawan dosa dan kemauannya untuk mencari Tuhan sepanjang hidupnya. Hal ini dimungkinkan dalam kasih karunia Tuhan dan melalui pertolongan Roh Kudus.

Dalam kehidupan zaman ini yang berusaha menjadikan segala sesuatu lebih mudah dan instan, proses pengudusan dalam Roh Allah mendapatkan tantangan tersendiri. Kebiasaan hidup yang mudah dan instan menjadikan generasi zaman ini menjadi generasi yang mudah menyerah dalam menghadapi proses kehidupan rohani. Pemahaman kebenaran yang didapat dari pengajaran singkat yang didapat dari media sosial lebih disukai dibandingkan dengan pemahaman kebenaran yang dalam melalui pengajaran dan pemuridan yang membutuhkan waktu dan usaha yang lebih keras.

Akar iman dan rohani yang dalam dan kuat didapat dari sebuah proses pembelajaran kebenaran dan kehidupan yang berjalan bersama dengan Roh Kudus setiap hari sepanjang hidup. Perenungan Firman yang teratur, pembacaan buku-buku rohani yang berkualitas, kehidupan doa, pujian dan penyembahan yang berkesinambungan adalah syarat untuk mendapatkan kehidupan rohani yang semakin kuat dan semakin dewasa.

#3 Kasih yang mendalam kepada Kristus sebagai hasil dari kasih Kristus kepada kita.

Kasih adalah dasar dari kehidupan orang percaya (1 Korintus 13). Iman dan pengharapan menjadi sempurna di dalam kasih. Petrus mengajarkan bahwa hasil akhir iman adalah kasih (2 Petrus 1:5-7). Tuhan Yesus memberikan Perintah Agung yaitu mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37-38) sebagai hukum yang terutama. Bahkan buah Roh dimulai dengan kasih (Galatia 5:22-23), kasih menghasilkan “rasa” yang lain dan lengkap dari buah Roh itu. Selalu hidup dalam kasih yang semula itulah kerinduan Tuhan atas umat-Nya (Wahyu 2:4-5).

Penutup

Orang tua yang mengasihi Tuhan dan mengaplikasikannya dalam hal mengasihi keluarganya adalah contoh dan keteladanan yang harus didapat oleh anak-anak. Seorang ayah yang mengasihi istrinya dan seorang ibu yang menghormati suaminya menjadikan seorang anak hidup dalam kasih dan memudahkannya mengenal kasih Bapa di dalam Yesus Kristus.

Kasih akan membentuk pribadi yang bertumbuh baik dan membawa mereka mengenal Allah yang adalah kasih itu sendiri. Pribadi yang demikian akan memiliki karakter yang kuat dan kedewasaan secara rohani dan jiwani dengan baik, ditambah dengan pengetahuan dan kecakapan maka akan memberikan dampak yang baik bagi lingkungannya dan menjadi bagian dalam membangun bangsa ini.

Biarlah generasi Yeremia yang dipenuhi Roh Kudus, cinta mati-matian kepada Tuhan Yesus, tidak kompromi terhadap dosa, dan akan bergerak untuk memenangkan jiwa akan muncul dengan warisan rohani dari pendahulunya. Amin. (BM)

Referensi

  1. ^ Jaliaman Sinaga dan Marilynda Sumbayak, 7 Kesalahan dalam mendidik anak , (Jakarta: Divisi Pengajaran GBI Jl. Gatot Subroto, 2016), hlm. 60
  2. ^ Myles Munroe, The Purpose and Power of Love and Marriage (Jakarta: Immanuel,2006), hlm. 322
  3. ^ Divisi Pengajaran GBI Jl. Gatot Subroto, Bimbingan Pernikahan (Jakarta:2015), hlm. 279
  4. ^ Robert dan Angeline Tucker, Jika Bukan Tuhan yang Membangun Rumah (Jakarta: Voice of Hope, 2013), hlm. 188
  5. ^ Ibid, hlm. 195

Dalam perlombaan lari estafet, selain kecepatan berlari dari setiap anggota tim, hal yang krusial adalah proses perpindahan tongkat estafet dari satu pelari ke pelari berikutnya.