Ketulusan dalam menerima keputusan Bapa

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 Mei 2021 08.02 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
Lompat ke: navigasi, cari

“Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga." (Matius 26:39, 42, 44)

Dalam khotbah di Bukit, Tuhan Yesus mengajarkan murid-murid-Nya tentang bagaimana berdoa, yang kemudian dikenal dengan "Doa Bapa Kami", di mana dalam salah satu bagian dari doa yang diajarkan Tuhan Yesus itu ada sebuah permintaan dan harapan "jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga." (Matius 6:10)

Doa ini mengajarkan kepada kita untuk hidup berserah dan mengikut kehendak Bapa di sorga. Tentu implikasi dari hal ini terhadap kehidupan kerohanian kita sangat luas, antara lain:

  1. Kesadaran untuk menempatkan kehendak Bapa jauh di atas kehendak pribadi kita
  2. Ini bukan soal yang mudah, mengingat sebagai manusia yang cenderung 'sok tahu' dan 'sok berkuasa' atas dirinya sendiri, umumnya kita mengedepankan kehendak sendiri di atas yang lainnya. Banyak orang beranggapan bahwa mendahulukan atau menuruti kehendak pribadi yang lain dengan mengekang kehendak sendiri adalah bentuk perhambaan, penjajahan terhadap hak asasi seseorang.

    Mungkin mereka lupa, bahwa sebagai orang yang telah ditebus dengan harga yang mahal dan lunas dibayar oleh Darah Kristus (1 Korintus 6:20) kita menjadi hamba Allah, sebagaimana tertulis dalam Roma 6:22,

    "Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal."

    Sebagai hamba Allah kita adalah orang yang merdeka dari dosa, namun sebagai hamba Allah sudah selayaknya kita meletakkan kehendak-Nya di atas kehendak kita.

    Dalam nats bacaan kita; tiga kali Yesus menyampaikan permohonan kepada Bapa di sorga, namun Yesus dengan jelas dan tegas menyatakan "tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki", dalam kalimat yang lebih ringkas dan sederhana Ia berkata: "Jadilah kehendak-Mu".

    Tuhan Yesus sedang memberikan sebuah teladan bagaimana orang percaya harus menempatkan kehendak Bapa jauh di atas, melampaui kehendak kita sendiri. Biarlah apapun yang kita lakukan dan yang terjadi dalam hidup kita adalah kehendak-Nya dan bukan kehendak kita sendiri. Yakobus dalam suratnya mengajarkan secara praktis mengenai hal ini:

    "Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." (Yakobus 4:13-15)

  3. Memahami dan menerima konsekuensi dari penyerahan diri terhadap kehendak Bapa
  4. Tidak sedikit orang yang dengan mudahnya berkata: "Biar kehendak TUHAN yang jadi." Tentu kita harus mengaminkan pernyataan tersebut. Namun sadarkah kita, bahwa ada konsekuensi dari permohonan kita tersebut di atas?

    • Kehendak TUHAN belum tentu mengenakkan bagi kedagingan kita.
    • Kehendak TUHAN belum tentu jalan yang mudah untuk dilalui.
    • Kehendak TUHAN menuntut harga yang harus dibayar sebagai bukti ketaatan dan ketulusan dalam menjalani dan mengikuti kehendak-Nya.

    Tuhan Yesus, setelah melewati malam di mana Ia berdoa dan menyatakan "Jadilah kehendak-Mu"; yang terjadi kemudian adalah penangkapan, penahanan, penistaan, penyiksaan, penganiayaan, penghinaan, dan penyaliban. Sangat jauh dari dugaan banyak orang yang mungkin berpikir ketika berkata "Jadilah kehendak-Mu" maka semua urusan dan persoalan menjadi lancar, berjalan dengan baik dan mengalami berkat TUHAN.

    Tuhan Yesus memahami dan menerima konsekuensi dari penyerahan diri-Nya terhadap kehendak Bapa di sorga dengan ketulusan hati. Tidak berbantah, tidak bersungut-sungut, tidak ada penyesalan sedikit pun terhadap kehendak Bapa yang harus Ia jalani.

    “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yesaya 53:7)

    Bagaimana? Apakah kita memahami konsekuensi apa yang menanti kita dalam penyerahan diri kepada kehendak Bapa; ketika kita berdoa dan berkata: "Jadilah kehendak-Mu?" Lebih dari itu, apakah kita siap untuk melakukannya? Ketulusan hati ini adalah kuncinya. Ketulusan hati Yesus membuat diri-Nya melakukan semua kehendak Bapa dengan penuh ketaatan.

    "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:5-8)

    Rasul Paulus menjabarkan implementasi dari ketulusan dan ketaatan Tuhan Yesus dalam mengikuti kehendak Bapa dengan hal-hal praktikal yang perlu dilakukan dalam kehidupan orang percaya sebagai berikut:

    "hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4)

    Ketika kita menjalaninya bukan untuk kepentingan kita sendiri, melainkan demi kepentingan bersama, maka kita bisa menerima konsekuensi dari penyerahan diri kepada kehendak Bapa di Sorga.

    Ayub juga memberikan teladan yang baik mengenai hal ini. Di tengah pergumulan dan persoalan hidup yang sangat berat yang dialaminya, perkataan ini yang keluar dari mulut Ayub ketika istrinya berupaya untuk membuatnya mengutuki TUHAN:

    “Maka berkatalah isterinya kepadanya: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya” (Ayub 2:9-10)

Jika sesuatu hal adalah sesuai dengan kehendak Bapa, entah yang kita akan hadapi adalah hal yang baik atau yang buruk, mari kita terima dan kita lakukan dengan ketulusan hati, dengan iman percaya bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. (Roma 8:28)

Jadilah pribadi yang dengan penuh ketulusan menerima keputusan Bapa di sorga. Maranatha! (DL)

“Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga." (Matius 26:39, 42, 44)